TAPANULI SELATAN – Usianya hampir memasuki satu abad. Jansen Pasaribu (86), sang ‘mantari bondar’ (pengatur pintu air) dari Desa Haunatas, Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara, dianggap paling berjasa bagi masyarakat petani di daerah itu.
Pagi itu, cahaya mentari sudah terlihat di upuk timur, pertanda bagi masyarakat akan memulai aktivitasnya. Tak terkecuali dengan Ompung Jansen, panggilan akrab Jansen Pasaribu. Badannya yang sudah keriput, raut muka yang sudah tua, tidak menghilangkan semangatnya untuk turun ke sawah.
Ompung Jansen tinggal di rumah yang sederhana bersama istrinya Minah Hutapea. Sembari memegang peralatan yang biasa dia bawa, dia pamit untuk melakukan aktivitasnya.
Di tengah perjalanan ke tempat yang dituju, laki-laki yang memiliki delapan anak itu tidak hentinya memberikan senyuman kepada penulis. Mungkin, menandakan bahwa dia bahagia dengan profesinya sebagai ‘mantari bondar’.
Profesi sebagai mantari bondar sudah dia jalani sejak tahun 1958. Selama puluhan tahun, dia sangat menghargai pekerjaannya, karena memberikan manfaat yang banyak bagi masyarakat.
Ternyata, pekerjaan sebagai pengatur pintu air itu sudah menjadi turun temurun, mulai dari kakeknya, Moses Pasaribu. Diyakini, Moses orang yang pertama membuka kampung yang saat ini dihuni ratusan kepala keluarga (KK) itu.
Untuk sampai ke lokasi pintu air, Ompung Jansen, harus berjalan kaki 3-4 kilometer. Selama menjadi mantari bondar, dia tidak pernah mengeluh, walaupun terkadang harus menghadapi medan yang berat.
“Kalau hujan lebat atau longsor, saya harus kesana untuk melihat bangunan pintu air,” ujarnya. Seakan tidak memperdulikan bahaya yang menghadang, Ompung Jansen tetap akan pergi ke pintu air apabila ada yang rusak dan langsung memperbaiki, karena keberlangsungan usaha petani tergantung dari pintu air yang dia jaga. (zn)