Gegara Suami Kerja di Duri, RS Bukit Tinggi Tolak Ibu Hamil Untuk Persalinan

  • Bagikan
- Kasus ibu hamil ditolak rumah sakit (RS) terjadi kembali di Bukittinggi, Sumatera Barat. Kali ini dialami oleh Sri Mahayu (33) warga Mandiangin, Koto Selayan.

BUKITTINGGI -Diduga gegara baru jumpa suaminya yang kerja di Duri, Sri Mahayu (32) salah seorang ibu hamil yang ingin menjalani persalinan ditolak oleh salah satu rumah sakit di Bukit Tinggi, Provinsi Sumatera Barat.

Di tengah pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Sri Hamayu yang sudah menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan harus menjalani prosedur panjang di rumah sakit.

Kejadian berawal papda Sabtu, 2 Mei 2020 saat Sri mengalami pecah ketuban dan tanda-tanda akan segera melahirkan. Saat dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) sebuah rumah sakit di Bukittinggi, Sri menjalani sejumlah proses untuk mencegah penyebaran virus Corona (COVID-19).

Ema Malini, adik Sri mengungkapkan proses awalnya berjalan lancar. Namun tiba-tiba kakaknya batal mendapat pelayanan. Diduga hal itu karena saat ditanya tentang suaminya, Sri menjelaskan bahwa Rinaldi (47), suaminya bekerja di Kota Duri, Riau

Sri tidak jadi dilayani dan disuruh oleh ke rumah sakit lain dengan alasan karena kontak dengan orang dari daerah terjangkit COVID-19.
“Jam setengah tiga subuh keluar tanda, terus jam setengah sembilan pecah ketuban langsung inisiatif ke rumah sakit, ada sekitar satu jam menunggu, lalu ditanya di mana suaminya,” ujarnya.

Setelah dijawab bekerja di Duri dan dijelaskan pulang terakhir pada 15 Maret 2020 lalu, paramedis ragu dan menyuruh tunggu dokter karena mereka yang memutuskan.

“Lalu perawat keluar dan mengatakan tidak bisa diproses di sini disuruh pergi ke rumah sakit Achmad Mochtar atau Yarsi karena takutnya ketuban sudah pecah. Di kedua RS itu ada alat mendeteksi terjangkit COVID-19 atau tidak. Selanjutnya kami pergi tidak mau ke RS Achmad Mochtar atau Yarsi karena takutnya nanti banyak prosedur akan lama dilayani sedangkan air ketuban sudah pecah,” kata Ema.

Akhirnya, Sri dan Ema pergi ke bidan praktek swasta di pinggir kota. Keduanya mengaku tidak pergi ke rumah sakit yang disarankan dokter di rumah sakit sebelumnya karena khawatir akan menjalani proses panjang.

Beberapa jam setelah sampai di bidan, Sri Sabtu (2/5/2020) siang melahirkan bayi dengan berat 3,3 kg dan panjang 48 cm.

Menanggapai kejadian ibu hamil ditolak melahirkan kembali terulang, Wali Kota Bukittinggi Ramlan enggan banyak berkomentar. Namun Ramlan seusai video conference dengan tim gugus tugas percepatan penanganan COVID-19 Pusat di kantor Balai Kota Bukittinggi, Ramlan mengaku akan menelusuri kasus tersebut dan berkoordinasi dengan dinas kesehatan.

Sebelumnya pada Rabu, 29 April 2020 lalu seorang ibu hamil warga Tarok Dipo, Kota Bukittinggi juga ditolak melahirkan oleh rumah sakit dan sejumlah klinik bidan.

Setelah kejadian itu, Ikatan Bidan Indonesia cabang Bukittinggi meminta maaf. Ketua IBI Bukittinggi, Paulina menjelaskan bahwa saat kejadian sebagian besar sarana pelayanan kesehatan di Bukittingi memang sedang waspada pandemic COVID-19. Selain itu para bidan kekurangan alat pelindung diri (APD).

“Saya menyampaikan permohonan maaf pada masyarakat atas kesimpangsiuran berita pelayanan kebidanan oleh bidan praktek mandiri dan bidan di rumah sakit. Sama sekali tidak ada penolakan dari bidan, kemudian pasien menuju ke puskesmas Rasimah Ahmad, karena pandemi COVID-19 puskemas buka untuk pagi hari untuk memutus mata rantai penularan COVID-19.

 

Menyikapi pandemi COVID-19 dengan menggunakan APD level 2 saat melayani ibu melahirkan dan ibu hamil, IBI dan BKKBN akan memberikan bantuan APD kepada bidan praktek mandiri di Bukittinggi dalam waktu dekat ini,” katanya.

Paulina meminta ibu hamil di masa pandemi COVID-19 tetap mengikuti prosedur pelayanan rumah sakit. Ibu hamil diminta melahirkan di RS yang dianjurkan karena memiliki peralatan medis yang lengkap dan APD yang memadai.(SI)

  • Bagikan