Padangsidimpuan – Dalam beberapa minggu terakhir, diskusi mengenai aturan PP Nomor 28 Tahun 2024 terkait Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan ikut mengatur pengadaan alat kontrasepsi bagi anak siswa sekolah dan remaja semakin intensif.
Psikolog yang juga merupakan dosen UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan (Syahda) Fithri Choirunnisa Siregar, M.Psi, memberikan pandangan menarik mengenai dilema ini.
Apakah kondom berfungsi sebagai alat perlindungan atau justru menjadi pemicu seks bebas di kalangan remaja?
Menurut Psikolog kelahiran Samarinda ini, ada dua sisi yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan pemberian kondom kepada remaja. Dari sudut pandang perlindungan, kondom dapat menjadi alat yang efektif untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan penyakit menular seksual (PMS).
“Remaja zaman sekarang tumbuh dalam lingkungan yang kaya informasi, terutama dengan akses mudah ke internet. Mereka seringkali terpapar informasi seksual dari berbagai sumber, baik yang mendidik maupun yang tidak. Dalam situasi ini, menyediakan kondom bisa menjadi langkah preventif yang penting,” jelas Fithri.
Sisi Negatif Kondom untuk Remaja
Namun, Fithri juga menyoroti sisi negatifnya. “Memberikan kondom kepada remaja bisa dianggap sebagai lampu hijau bagi mereka untuk terlibat dalam aktivitas seksual tanpa mempertimbangkan konsekuensi emosional dan sosialnya. Remaja mungkin merasa bahwa mereka telah diberikan izin untuk melakukan seks bebas, yang dapat mengarah pada perilaku yang kurang bertanggung jawab,” tambahnya.
Salah satu aspek penting yang ditekankan oleh Fithri adalah peran orang tua. Menurutnya, orang tua harus lebih proaktif dalam memberikan pendidikan seksual kepada anak-anak mereka.
“Orang tua perlu berperan sebagai pendamping yang memahami dan mendukung anak-anak mereka dalam menghadapi tantangan seksual di era digital ini. Memberikan kondom saja tidak cukup, perlu ada komunikasi yang terbuka tentang nilai-nilai, tanggung jawab, dan konsekuensi dari aktivitas seksual,” kata Fithri.
Dari perspektif sosial, kebijakan ini juga bisa memicu stigma. Remaja yang memilih untuk menggunakan kondom mungkin dihakimi oleh teman-teman sebaya atau bahkan oleh orang dewasa di sekitarnya.
“Sanksi sosial bisa menjadi berat bagi remaja yang masih dalam proses mencari identitas dan penerimaan dari lingkungan sekitar,” ujar Fithri.