Menteri di Pusaran Isu Reshuffle

  • Bagikan
Anang Anas Azhar

ISU reshuffle menteri kabinet kerja II Joko Widodo semakin bertiup kencang. Desakan reshuffle mengemuka tidak hanya datang dari publik. Presiden Joko Widodo secara transparan mengungkapkan kekecewaannya atas kinerja menteri kabinet tanggal 18 Juni 2020 lalu. Salah satu kekecewaan itu, terkait serapan anggaran di beberapa kementerian berjalan lamban dalam menangani  Covid-19.

Imbas kekecewaan presiden itu, berimplikasi terhadap eskalasi politik nasional. Tafisr politik muncul secara beragam. Setidaknya, ada dua model eskalasi yang muncul ketika presiden mengungkapkan kekecewaannya itu. Pertama, presiden ingin bergerak cepat. Para menteri yang tidak mampu bekerja maksimal mengikuti ritme kerja presiden, dipersilakan legowo mengundurkan diri. Atas desakan publik presiden diminta me-reshuffle kabinet bagi menteri yang lamban bekerja.

Advertisement

Kedua, makna reshuffle bisa jadi pindah kantor ke kementerian lain. Kementerian yang dinilai kurang bergerak menterinya dapat dimutasi. Tekanan ini justru di-support elite politik yang ingin penyegaran di kabinet kerja II Joko Widodo. Dua fakta inilah penyebab isu reshuffle berhembus tajam sekaligus memberi pengaruh luar biasa kepada para menteri unruk tidak enak tidur, was-was dan khawatir terkena imbas gelombang reshuffle. Lantas kapan reshuffle tersebut terealisasi? Atmosfer politik yang belakangan ini terjadi, seringkali mengalami turbulensi politik. Naik turunnya tensi politik, banyak mempengaruhi percepatan reshuffle di kabinet kerja II Joko Widodo.

Denyut gelombang reshuffle kabinet Joko Widodo itu, biasanya dipicu karena ketidaknyamanan kinerja para menteri. Presiden tidak dapat berkoordinasi atau mungkin saja menteri tidak mampu mengikuti langkah kerja presiden. Yang jelas, kekecewaan itu sudah dipublis media, presiden kurang puas atas kinerja menteri di kabinetnya dan fakta-fakta dari statement itu biasanya bermuara dari evaluasi kerja di masing-masing menteri.

Serapan anggaran yang tidak maksimal misalnya, sempat disebut presiden dalam menangani wabah Covid-19. Sejumlah menteri terkait, belum maksimal mendistribusikan anggarannya untuk mengatasi wabah. Menteri Kesehatan RI, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan menteri terkait lainnya adalah menteri yang paling bertanggungjawab dalam pendistribusian anggaran. Tetapi fakta yang terjadi justru tidak berjalan maksimal, bahkan terkesan lamban dan berbelit-belit. Desakan  reshuffle kabinet inilah muncul sekaligus refleksi kekecewaan presiden kepada menterinya.

Belum genap satu tahun masa jabatan menteri, isu reshuffle muncul. Bisa diprediksi jika reshuffle terjadi, gelombang tekanan ke istana semakin tinggi bakal siapa yang masuk ke kabinet Joko Widodo. Perombakan kabinet merupakan hal yang biasa, tidak perlu ditanggapi berlebihan. Karena perombakan kabinet hak prerogatifnya presiden. Perombakan kabinet juga pernah dilakukan Joko Widodo saat memimpin Indonesia periode I. Yang pertama tanggal 12 Agustus 2016, dan perombakan kedua 27 Juli 2017. Nampaknya, ada pola jadwal reshuffle kabinet di era Joko Widodo yakni pada bulan Juli dan Agustus. Ini juga pernah terjadi di masa kepemimpinan Presiden SBY, perombakan kabinet dilakukan untuk menyegarkan kinerja para menteri bekerja lebih maksimal.

Setidaknya, jika terjadi perombakan kabinet, tujuan awalnya bukan persoalan suka atau tidak suka lagi. Tetapi lebih jauh dari itu, kocok ulang jabatan menteri di kementerian tidak dilihat dari koalisi partai politik yang sudah dibangun pemerintah Joko Widodo lewat koalisi partai politik di parlemen. Siklus politik pragmatis acapkali terjadi, ketika presiden melempar isu reshuffle ke publik. Banyak politisi yang memanfaatkan kondisi politik yang terjadi. Serangan partai politik di luar koalisi sering dilancarkan lawan politik, untuk mengambil momentum politik dari reshuffle itu.

Catatan penting, jika Joko Widodo mengambil sikap merombak kabinet adalah mengamankan jalur koalisi pemerintahan terlebih dahulu. Jika tidak, dikhawatirkan akan terjadi turbulensi politik yang luar biasa. Koalisi pemerintahan semakin liar jika Joko Widodo tidak memperhatikan secara serius kepentingan koalisi secara bersama. Ini patut menjadi pertimbangan prioritas presiden ketika melakukan reshuffle kabinet kerja II.

Joko Widodo juga patut mewaspadai relasi kuasa (power relation) yang syarat kepentingan di luar pemerintahan. Kekuatan luar non koalisi pemerintahn penting menjadi pertimbangan, agar keseimbangan kekuasaan selama Joko Widodo memimpin menjadi stabil. Ini penting karena relasi kekuasaan tidak muncul tiba-tiba, tetapi di-design sedemikian rupa agar menjadi lebih baik. Pemerintahan pun terlihat berwibawa dan jauh dari cemoohan publik.

** Penulis adalah Analis Komunikasi Politik UINSU dan Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UINSU dan UMSU**

 

Advertisement

  • Bagikan