LENSAKINI – Gelar “haji” yang disematkan kepada Muslim yang telah menunaikan ibadah haji memiliki sejarah yang panjang dan bermula dari masa Hindia Belanda hingga kini.

Pada zaman kolonial tersebut, penggunaan gelar ini tidak sembarangan dan harus melalui proses yang ketat sesuai dengan regulasi yang ada.
Peraturan utama terkait hal ini tertuang dalam Staatsblad nomor 42 tahun 1859, yang mengharuskan jamaah haji untuk mendapatkan izin perjalanan sebelum berangkat dan melaporkan kembali setelah pulang.

Jamaah haji juga harus melewati serangkaian pengujian yang dilakukan oleh bupati setempat untuk memastikan bahwa mereka benar-benar telah menunaikan ibadah haji.

Pengujian ini bukan sekadar formalitas, melainkan juga berfungsi sebagai penyelidikan untuk memastikan keabsahan perjalanan haji yang dilakukan.
Para jamaah haji harus membuktikan memiliki biaya yang cukup untuk perjalanan pulang-pergi serta memberikan jaminan untuk keluarga yang ditinggalkan. Jika lulus dari pengujian ini, mereka berhak memakai gelar “haji” serta berpakaian sesuai dengan atribut haji seperti surban dan jubah.
Pada tahun 1872, Residen Surabaya, van Deventer, bahkan mengusulkan larangan penggunaan pakaian Arab atau pakaian haji sebagai bagian dari upaya untuk memisahkan etnis dan budaya di Hindia Belanda.
Namun, usulan ini menuai keberatan dari para ilmuwan seperti Karel Frederick Holle dan Snouck Hurgronje.