JAKARTA – Pasca pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah 2020, 9 Desember lalu, praktek politik uang saat pemilu terus berlanjut.
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia mengungkapkan lemahnya penegakan hukum menjadi salah satu penyebab praktik itu terus terjadi.
Untuk mencegah hal serupa kembali terulang pada pemilu selanjutnya, penegakan hukum atas pelaku politik uang diusulkan dilakukan langsung oleh kepolisian, tidak lagi oleh Badan Pengawas Pemilu.
Dari hasil survei oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 11-14 Desember 2020 yang dirilis, Minggu (10/1/2021), terkuak bahwa 16,9 persen responden mengaku mendapatkan tawaran uang dan barang-barang seperti bahan kebutuhan pokok, untuk memilih calon kepala/wakil kepala daerah tertentu saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.
Mereka yang menerima ini termasuk pada kelompok laki-laki usia produktif dari pendidikan dan kelas sosial menengah ke bawah.
Kemudian dari 16,9 persen responden itu, 36,3 persen di antaranya menyatakan pemberian itu berdampak pada pilihan mereka.
Di luar itu, ditemukan pula adanya 19,9 persen responden yang mengaku melihat tetangganya ditawari uang. Survei dilakukan dengan sampel sebanyak 2.000 responden.
“Temuan menunjukkan politik uang tetap marak meski tidak tinggi. Pandemi Covid-19 membuat kebutuhan melakukan politik uang lebih tinggi karena perekonomian masyarakat menurun,” kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan.
Hadir sebagai penanggap, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini; Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan; dan penulis buku Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru, Burhanuddin Muhtadi.
Djayadi melanjutkan, mayoritas pemilih yang mengetahui praktik politik uang tersebut mengaku tidak mengetahui saluran untuk memberikan pengaduan.
“Kemauan masyarakat untuk melapor pun masih cukup rendah,” tambahnya.
Djohermansyah mengatakan, praktik politik uang merupakan musuh utama dalam pemilu di Indonesia. Praktik tersebut mengakibatkan biaya politik yang harus dikeluarkan oleh calon menjadi tinggi. Kemudian saat calon terpilih. mereka lantas berperilaku koruptif.
Burhanuddin menuturkan, praktik politik uang biasa marak terjadi di daerah-daerah dengan tingkat kompetisi yang tinggi. Selain itu, marak pula terjadi di daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam melimpah.
Temuan Minim
la menyayangkan, di tengah masih maraknya politik uang. temuan oleh Bawaslu justru dinilainya minim.
Dari 262 dugaan pelanggaran politik uang di Pilkada 2020, sebanyak 197 di antaranya berasal dari laporan masyarakat, sedangkan dari Bawaslu hanya 65 temuan.
Titi menilai, berulangnya praktik politik uang dalam setiap pemilu karena lemahnya penegakan hukum. Selain soal aturan, pengawasan oleh Bawaslu juga dinilai masih lemah.
Karena itu, Titi mengusulkan agar pengawasan dan penindakan pelaku politik uang di pemilu selanjutnya, langsung dilakukan oleh kepolisian.
“Pengawasan tidak perlu lagi dilakukan oleh Bawaslu, tetapi langsung saja oleh kepolisian karena mereka punya instrumen yang lengkap, seperti tangkap tangan dan operasi di lapangan. Itu jauh lebih efektif,” ujarnya.
Selain itu, dalam Pilkada 2020 ada kecenderungan pengusutan kasus dugaan pelanggaran politik uang justru menimbulkan kegaduhan. Sebab di beberapa daerah, Bawaslu mendiskualifikasi calon saat hasil sudah ditetapkan KPU.
“Diskualifikasi karena politik uang justru menimbulkan kekacauan hukum ketika putusannya sudah ada penetapan hasil oleh KPU,” tambahnya. (SYA/Kompas/zhp)