JAKARTA- Pasca Thailand menjadi negara pertama di Asia yang melegalkan penanaman ganja dan mengonsumsinya dalam minuman dan makanan, wacana legalisasi di Indonesia menguat.
Terlebih dengan aksi yang dilakukan oleh Santi Warastuti dan Sunarta pada Minggu 26 Juni 2022. Pasangan suami istri itu membawa poster bertuliskan, “Tolong anakku butuh ganja medis.”
Mereka berharap Mahkamah Konstitusi (MK) berkenan menerima gugatan uji materi yang diajukannya atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Diketahui, Santi bersama dua rekannya yakni Dwi Pertiwi, dan Novi menggugat Pasal 6 ayat 1 huruf H, Pasal 8 ayat 1 ke Mahkamah Konstitusi pada November 2020 silam.
Namun, belum ada kejelasan tentang uji materi tersebut.
Dikutip dari Liputan6.com, Beberapa hari lalu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengeluarkan pernyataan yang terkesan membuka peluang legalisasi ganja untuk medis. Pernyataan inilah yang kemudian menjadi pemicu wacana tersebut menguat. Bahkan, dia juga meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk segera melihat fatwanya.
Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas mengatakan, suatu kajian untuk fatwa harus dilakukan jika tak ada atau tak dapat penjelasannya dalam pada Alquran atau Hadis.
“Kalau belum ada nash, baik dari Alquran maupun Alhadis yang menjelaskan tentang hukumnya, maka ulama terutama komisi Fatwa MUI harus mempelajari dan mendalaminya sedalam-dalamnya untuk kemudian menyimpulkan dan memfatwakannya. Apakah boleh atau tidak,” ujarnya.
Menurut dia, siapapun tak ada yang bisa mengintervensi Komisi Fatwa MUI. Ma’ruf Amin yang juga selaku Dewan Pertimbangan MUI menyadari hal tersebut. Dia menilai, pernyataan Ma’ruf Amin bukanlah untuk mengintervensi MUI.
Ma’ruf Amin hanya meminta dasar hukum dalam Islam mengenai legalisasi ganja untuk medis ke Komisi Fatwa.
“Karena beliau sangat tahu tentang hal demikian, maka beliau meminta MUI terutama dalam hal ini komisi fatwanya untuk mengeluarkan fatwa tentang hukum dari ganja yang akan dipakai untuk kepentingan medis tersebut. Oleh karena itu, kalau kepada saya ditanyakan tentang hukumnya, maka jawaban saya mari kita tunggu saja hasil dari kajian dan fatwa dari Komisi Fatwa MUI tersebut,” tutur Abbas.
Secara pribadi, Abbas menyadari, jika memang keperluannya untuk medis atau peruntukannya untuk kebaikan, kenapa tidak. Dia mencontohkan bagaimana di Aceh ada yang menggunakan ganja untuk penyedap makanan.
“Silakan mereka mengkaji, mempelajari apakah ganja itu hukum dasarnya halal atau haram. Kalau babi kan hukum dasarnya haram, tapi tebu halal. Namun, kalau tebu diubah menjadi alkohol jadi haram kan. Sama seperti anggur halal, kalau difermentasi jadi haram kan, memabukkan,” tuturnya.
“Tidak ada hadis atau ayat yang mengharamkan ganja. Jadi boleh, tapi kalau diolah sedemikian rupa ya bisa berubah hukumnya,” sambung Abbas.
Meski demikian, dia mengingatkan, jika ada obat lain yang halal, maka itu wajib digunakan terlebih dahulu. “Tapi kalau yang halal tidak ada, sementara yang ada hanya yang haram dan untuk bisa menyelamatkan jiwa seseorang, maka kan jadi boleh,” tuturnya.
“Jadi istilahnya, ada orang terdampar dua tiga hari belum makan dan ketemu babi yang sudah jadi bangkai. Kan makan babi dan bangkai haram. Kalau tidak dimakan bangkai itu orang itu mati, ya makanlah bangkai itu. Tapi kalau masih banyak makanan dan buah-buahan ya haram hukumnya makan bangkai atau babi,” jelas Abbas.
Senada, Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menyatakan akan mempelajari lebih lanjut usulan legalisasi ganja untuk medis. Pemerintah ingin melihat baik dan buruknya ganja medis.
“Akan dilihat baik buruknya dengan cara meminta pendapat atau pandangan para ahli dari berbagai pihak seperti kesehatan, sosial, agama, dan lain sebagainya,” ujar Kabag Humas Kemenkumham Tubagus Erif Faturahman dalam keterangannya, Rabu (29/6/2022).
Sementara, juru bicara Wapres Ma’ruf Amin, Masduki Baidlowi menjelaskan, maksud meminta Fatwa dari MUI untuk memberikan jawaban di tengah problematika masyarakat mengenai legalisasi ganja tersebut, terlebih untuk kepentingan medis.
“MUI dalam hal ini Komisi Fatwa untuk melakukan kajian itu mengundang seluruh stakeholder. Apakah itu Kementerian Kesehatan, apakah itu BNN, apakah itu Kepolisian, apakah itu masyarakat sipil yang mewakili untuk kepentingan kesehatan, lalu kemudian apa yang mewakili yang tidak setuju atas kekhawatiran penyalahgunaan, itu biasanya diundang sehingga ketemu duduk perkaranya nanti. Baru disitulah akan ditentukan apakah ada fatwa atau tidak ada fatwa,” kata dia.
Karena itu, Masduki menggarisbawahi, apa yang disampaikan Wapres Ma’ruf Amin bukanlah dalam rangka meminta MUI dan pihak terkait untuk segera melegalkan ganja, tapi lebih kepada sifatnya mengkaji terlebih dahulu.
“Banyak orang salah paham dianggap Wapres supaya (MUI) memberikan fatwa, tidak langsung begitu. Tapi kajian terlebih dahulu. Kajian ini pasti sangat-sangat membutuhkan waktu. Terutama misalnya ada penelitian,” jelas Masduki.
Menurut dia, apa yang disampaikan Wapres Ma’ruf bersifat netral dan bukan pintu untuk segera melegalisasi ganja. Menurutnya, dengan hal ini semakin memperjelas apakah ganja bisa dipakai untuk keadaan darurat, karena dalam hukum agama ada yang namanya untuk suasana darurat.
“Ganja tidak boleh kalau untuk kepentingan-kepentingan yang tidak untuk kesehatan. Tapi dalam hal kepentingan kesehatan yang tidak ada obat lagi kecuali dengan itu, bagaimana hukumnya,” tutur Masduki.
“Jadi masuk wilayah pengecualian, itu fatwa bisa melihat seperti itu. Itulah makanya latar belakang dan kajian mendalam itu sangat penting, itu Wapres minta dilakukan kajian,” sambungnya.
Sementara, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin menanggapi terkait penggunaan ganja untuk medis. Saat ini, Kementerian Kesehatan RI sudah melakukan kajian dan segera mengeluarkan regulasinya.
Budi mengatakan yang perlu diperhatikan dalam penelitian ganja medis terkait bagaimana mengontrol fungsi penelitian. Fungsi penelitian ini harus sejalan dengan fungsi medis dari ganja.
“Kami sudah melakukan kajian (soal ganja untuk medis). Nanti sebentar lagi akan keluar regulasinya,” ucap Budi Gunadi saat berdialog dengan wartawan di Gedung Kementerian Kesehatan RI Jakarta pada Rabu, 29 Juni 2022.
“Tinggal masalah bagaimana kita mengontrol untuk fungsi penelitian. Nanti kalau sudah lulus penelitian, produksinya (ganja) harus kita jaga sesuai dengan fungsi medisnya.”
Perihal kebutuhan medis, Budi Gunadi membandingkan dengan penggunaan morfin. Morfin yang dikenal lebih keras dari ganja dapat digunakan untuk medis. Penggunaan morfin sesuai ketentuan medis yang ditetapkan.
“Kalau buat saya, semua tanaman, semua binatang yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa pasti ada manfaatnya tapi kita enggak tahu. Kan harus ada riset penelitiannya dulu,” terangnya.
“Sama juga dengan ganja yang dipakai buat kebutuhan lain. Tapi ganja sebenarnya sama seperti morfin. Ganja bisa dipakai untuk sesuatu yang bermanfaat.”
Sikap Penegak Hukum
Dirtipid Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Pol Krisno Halomoan Siregar menyampaikan, tentu ada tahapan untuk merealisasikan legalisasi ganja untuk medis.
“Usulan untuk melegalkan ganja untuk kepentingan medis harus melalui proses persetujuan Menteri Kesehatan atas rekomendasi BPOM sebagaimana bunyi Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 2009,” tutur Krisno kepada wartawan, Rabu (29/6/2022).
Menurut Krisno, Polri sebagai penyidik tindak pidana narkotika berpedoman kepada ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yakni bahwa ganja sebagai salah satu bentuk narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
“Saya tidak mau mendahului untuk membuat prediksi apakah kasus penyalahgunaan meningkat manakala ganja dilegalkan untuk kepentingan medis, meskipun bisa saja terjadi demikian,” jelas dia.
Krisno mengatakan, sejauh ini belum ada persiapan apapun dari pemerintah Indonesia terkait wacana legalisasi ganja untuk kepentingan medis.
“Polri sebagai alat negara penegak hukum tentunya wajib menegakkan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Sampai sejauh ini, Indonesia masih menjadi salah satu negara di PBB yang menolak legalisasi ganja,” Krisno menandaskan.
Buka Penelitian Lebih Cepat
Direktur Eksekutif Yayasan Sativa Nusantra Dhira Narayana menyambut baik niatan Ma’ruf Amin tersebut. Menurut dia, itu mempercepat untuk dilakukannya penelitian terhadap ganja, khususnya untuk kebutuhan medis.
“Semakin banyak dukungan dari berbagai pihak, semakin banyak argumen positif yang meyakinkan pemanfaatan tanaman ganja, maka semakin tidak ada alasan bagi pemerintah mempersulit akses penelitian pemanfaatan manfaat tanaman ini di Indonesia,” kata Dhira kepada Liputan6.com, Rabu (29/6/2022).
Dia juga meyakini, kehadiran fatwa ini menjadi salah satu dukungan yang baik untuk bisa mulai melihat potensi ganja medis di Indonesia.
“Dan yang kita perjuangkan itu regulasi ganja agar bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan medis, bukan legalisasi sepenuhnya,” ungkap Dhira.
Menurutnya, jika pintu untuk riset sudah dibuka dan ganja bisa dimanfaatkan untuk keperluan medis masyarakat Indonesia, wajib ada regulasi jelas dan ketat mulai dari proses pengembangbiakan, produksi, distribusi, hingga penggunannya.
“Sehingga akan tetap ada konsekuesi hukum yang jelas bagi mereka yang menyalahgunakan untuk keperluan non-medis,” kata Dhira.
Dia merasa yakin, kehadiran fatwa nanti bukan memperkuat penolakan terhadap upaya legalisasi ganja untuk medis. Menurutnya, banyak negara Islam yang menggunakannya untuk kepentingan medis.
“Seperti contohnya Maroko yang sudah melegalkan pemanfaatan ganja sebagai komoditi ekspor, keperluan medis, kosmetik dan industri, atau Lebanon yang menjadi negara Arab pertama yang melegalkan pemanfaatan ganja untuk medis dan industri. Bahkan negara tetangga kita pun, Malaysia, yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam juga sedang menggodok agenda melegalkan tanaman ganja untuk kebutuhan medis serta industri,” jelas Dhira.
Di sisi lain, Ahli Bidang Adiksi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia, dr Danardi Sosrosumihardjo SpKJ(K) mengungkapkan bahwa ada perbedaan pada Cannabis sativa, tanaman ganja yang banyak tumbuh di Indonesia.
“Cannabis sativa yang tumbuh di Indonesia tidak sama dengan yang tumbuh di negara lain. Ada kandungan THC (tetrahydrocannabinol) dan CBD (Cannabidiol) yang berbeda-beda kadarnya,” ujar Danardi pada keterangan tertulisnya.
Menurut Danardi, Cannabis sativa yang tumbuh di Aceh memiliki kandungan THC yang sangat tinggi. Sedangkan untuk kandungan CBD-nya sendiri justru rendah.
Lebih lanjut Danardi mengungkapkan bahwa di negara-negara lain seperti Amerika Serikat, zat CBD yang ada memang telah diolah sedemikian rupa sehingga bisa dijadikan obat.
“Di negara lain, misal di USA, zat CBD yang ada di tanaman ganja itu di-extract, diambil, dan dimurnikan. Itu dikemas jadi obat. Bukan dengan makan daun, bunga, atau tanaman ganja secara utuh,” kata Danardi.
Danardi menegaskan terdapat beberapa jenis obat dengan kandungan ganja yang memang sudah digunakan di negara lain. Namun sekali lagi, obat tersebut bukan diberikan secara herbal melainkan sudah diolah lebih dulu sehingga keamanannya terjamin.
Obat-obatan yang berisi CBD tersebut pun sudah banyak dijual sebagai obat kemasan di Amerika Serikat. Lebih lanjut menurut Danardi, berdasarkan penelitian yang sudah ada sebelumnya, CBD selama ini digunakan untuk anti nyeri dan anti kejang.
Danardi pun belum mengetahui soal manfaat CBD secara khusus untuk pengobatan Cerebral Palsy seperti yang dicari oleh Santi dan Eto.
“Secara uji klinis saya belum membaca penelitiannya CBD untuk kasus Cerebral Palsy, yang sudah ada, penelitian CBD untuk anti nyeri dan anti kejang,” ujar Danardi.
/Jangan Terburu-buru/
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Rahmad Handoyo meminta pemerintah untuk menyikapi wacana melegalkan ganja untuk keperluan medis dengan penuh kehati-hatian.
Dia menekankan wacana legislasi ganja harus berdasarkan kajian yang komprehensif, bukan karena latah mengikuti tren dunia.
“Kita harus berhati-hati menyikapi wacana ini, bukan latah. Artinya sebelum ganja medis dilegalkan, terlebih dahulu dilakukan kajian komperhensif yang melibatkan segala unsur terkait, khususnya para medis, psikolog,” kata Rahmad Handoyo dikutip dari siaran persnya, Rabu (29/6/2022).
Menurut dia, harus dikaji pula obat medis di luar pemanfaatan ganja untuk penyakit tertentu. Rahmad menilai sebaiknya menggunakan obat medis yang memiliki khasiat sama atau lebih baik dari ganja.
Rahmad mengingatkan harus ada pengawasan yang sangat ketat apabila hasil kajian menyatakan ganja aman untuk kepentingan medis. Hal ini agar ganja tak disalahgunakan untuk kepentingan di luar pengobatan.
“Tentu saja ganja hanya digunakan untuk pengobatan. Di luar kepentingan medis, musalnya penyalahgunaan ganja, penanaman ganja, tetap dilarang. Karena itu lah kalau ganja medis diijinkan, aturan tersebut harus diikuti pengawasan yang ketat,” jelasnya.
Namun, Rahmad menegaskan sampai saat ini penggunaan ganja untuk kepentingan medis masih dilarang oleh undang-undang. Dia meminta semua pihak mematuhi aturan tersebut.
“Ya, saat ini amanat rakyat yang tertuang dalam undang-undang masih melarang penggunaan ganja medis. Tentu saja kuta semua harus menghormati aturan tersebut. Aturan tersebut kita harus kawal bersama,” ujar Rahmad.
Sementara, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk melakukan kajian terkait ganja untuk keperluan medis di Indonesia.
Menurut Dasco, meski ganja untuk pengobatan sudah diterapkan di sejumlah negara, namun penerapan di Indonesia belum bisa dilakukan lantaran belum ada undang-undang yang mengaturnya.
“Di beberapa negara ganja itu memang bisa dipakai untuk pengobatan atau medis, namun di Indonesia UU-nya kan masih belum memungkinkan, sehingga nanti kita akan coba buat kajiannya apakah itu kemudian dimungkinkan untuk ganja itu sebagai salah satu obat medis yang memang bisa dipergunakan, karena di Indonesia kajiannya belum ada demikian,” kata Dasco.
Rencananya, DPR melalui Komisi Kesehatan atau Komisi IX akan mengoordinasikan soal usulan ganja medis bersama dengan Kemenkes.
“Nanti kita akan coba koordinasikan dengan komisi teknis dan Kemenkes dan lain-lain, agar kita juga bisa kemudian menyikapi hal itu,” ujarnya.