SAMPAI saat ini masih terjadi beda pendapat di kalangan ulama terkait seni suara atau nyanyian. Ada ulama yang membolehkan ada juga yang melarang atau mengharamkan. Prof M Quraish Shihab dalam Wawan Al-Quran, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, mengatakan setidaknya ada tiga ayat dalam Al-Qur’an yang dijadikan alasan oleh sementara ulama untuk melarang –paling sedikit dalam arti memakruhkan– nyanyian, yaitu: surat Al-Isra : 64, Al-Najm : 59-61, dan Luqman : 6.
Surat Al-Isra dimaksud adalah perintah Allah kepada setan:
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِمْ بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ وَعِدْهُمْ ۚ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا
Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka. (QS Al-Isra : 64)
Kata suaramu dalam ayat tersebut menurut sementara ulama adalah nyanyian. Tetapi benarkah demikian?
Menurut Quraish, membatasi arti suara dengan nyanyian merupakan pembatasan yang tidak berdasar, dan kalaupun itu diartikan nyanyian, maka nyanyian yang dimaksud adalah yang didendangkan oleh setan, sebagaimana bunyi ayat ini. Dan suatu ketika ada nyanyian yang dilagukan oleh bukan setan, maka belum tentu termasuk yang dikecam oleh ayat ini.
Surat Al-Najm yang dimaksud adalah:
أَفَمِنْ هَٰذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ
وَتَضْحَكُونَ وَلَا تَبْكُونَ
وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ
Apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini (adanya Kiamat)? Kamu menertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu samidun (QS Al-Najm : 59-61).
Menurut Quraish, kata samidun diartikan oleh yang melarang seni suara dengan arti dalam keadaan menyanyi-nyanyi. Arti ini tidak disepakati oleh ulama, karena kata tersebut walaupun digunakan oleh suku Himyar (salah satu suku bangsa Arab) dalam arti demikian.
Akan tetapi dalam kamus-kamus bahasa seperti —Mujam Maqayis Al-Lughah— dijelaskan bahwa akar kata samidun adalah samada yang maknanya berkisar pada berjalan bersungguh-sungguh tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan, atau secara majazi dapat diartikan serius atau tidak mengindahkan selain apa yang dihadapinya.
Menurut Quraish, kata samidun diartikan oleh yang melarang seni suara dengan arti dalam keadaan menyanyi-nyanyi. Arti ini tidak disepakati oleh ulama, karena kata tersebut walaupun digunakan oleh suku Himyar (salah satu suku bangsa Arab) dalam arti demikian.
Akan tetapi dalam kamus-kamus bahasa seperti —Mujam Maqayis Al-Lughah— dijelaskan bahwa akar kata samidun adalah samada yang maknanya berkisar pada berjalan bersungguh-sungguh tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan, atau secara majazi dapat diartikan serius atau tidak mengindahkan selain apa yang dihadapinya.
Dengan demikian, Quraish menjelaskan, kata samidun dalam ayat tersebut dapat diartikan lengah karena seorang yang lengah biasanya serius dalam menghadapi sesuatu dan tidak mengindahkan yang lain
Dalam Al-Quran dan Terjemahnya Departemen Agama RI kata samidun diartikan “lengah”. Quraish berpendapat kalaupun kata tersebut dibatasi dalam arti nyanyian maka nyanyian yang dikecam di sini adalah yang dilakukan oleh orang-orang menertawakan adanya hari kiamat, dan atau melengahkan mereka dari peristiwa yang seharusnya memilukan mereka.
Selanjutnya, ayat ketiga yang dijadikan argumentasi keharaman menyanyi atau mendengarkannya adalah surat Luqman ayat 6.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS Al-Lukman : 6).
Mereka mengartikan kata-kata yang tidak berguna (lahwa al-hadits) sebagai nyanyian. Pendapat ini, kata Quraish, jelas tidak beralasan untuk menolak seni-suara, bukan saja karena lahwa al-hadits tidak berarti nyanyian, tetapi juga karena seandainya kalimat tersebut diartikan nyanyian, yang dikecam di sini adalah bila kata-kata yang tidak berguna itu menjadi alat untuk menyesatkan manusia. “Jadi masalahnya bukan terletak pada nyanyiannya, melainkan pada dampak yang diakibatkanya,” jelas Quraish Shihab.
Sejarah kehidupan Rasulullah SAW membuktikan bahwa beliau tidak melarang nyanyian yang tidak mengantar kepada kemaksiatan. Bukankah sangat populer di kalangan umat Islam, lagu-lagu yang dinyanylkan oleh kaum Anshar di Madinah dalam menyambut Rasulullah SAW?
“Thalaa al-badru alaina. Min tsaniyat al-wadai
Wajabasy syukru alaina. Ma daa lillahi dai
Ayyuha al-mabutsu fina. Jita bil amril muthai”
Memang benar, apabila nyanyian mengandung kata-kata yang tidak sejalan dengan ajaran Islam, maka ia harus ditolak. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa dua orang wanita mendendangkan lagu yang isinya mengenang para pahlawan yang telah gugur dalam peperangan Badr sambil menabuh gendang. Di antaranya syairnya adalah:
“Dan kami mempunyai Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok”
Mendengar ini Nabi SAW menegur mereka sambil bersabda: “Adapun yang demikian, maka jangan kalian ucapkan. Tidak ada yang mengetahui (secara pasti) apa yang terjadi esok kecuali Allah (Diriwayatkan oleh Ahmad).
Al-Quran sendiri memperhatikan nada dan langgam ketika memilih kata-kata yang digunakannya setelah terlebih dahulu memperhatikan kaitan antara kandungan kata dan pesan yang ingin disampaikannya.
Sebelum seseorang terpesona dengan keunikan atau kemukjizatan kandungan Al-Quran, terlebih dahulu ia akan terpukau oleh beberapa hal yang berkaitan dengan susunan kata-kata dan kalimatnya, antara lain menyangkut nada dan langgamnya.
Walaupun ayat-ayat Al-Quran ditegaskan oleh Allah bukan syair, atau puisi, namun ia terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya. Ini disebabkan karena huruf dari kata-kata yang dipilihnya melahirkan keserasian bunyi, dan kemudian kumpulan kata-kata itu melahirkan pula keserasian irama dalam rangkaian kalimat ayat-ayatnya.
Bacalah misalnya surat Asy-Syams, atau Adh-Dhuha atau Al-Lahab dan surat-surat lainnya. Atau baca misalnya surat An-Naziat ayat 15-26.
Yang ingin digarisbawahi di sini adalah nada dan irama yang unik itu. Ini berarti bahwa Allah sendiri berfirman dengan menyampaikan kalimat-kalimat yang memiliki irama dan nada. Nada dan irama itu tidak lain dari apa yang kemudian diistilahkan oleh sementara ilmuwan Al-Quran dengan Musiqa Al-Quran (musik Al- Quran).
Ini belum lagi jika ditinjau dari segi ilmu tajwid yang mengatur antara lain panjang pendeknya nada bacaan, bahkan belum lagi dan lagu-lagu yang diperkenalkan oleh ulama-ulama Al-Quran. Imam Bukhari, dan Abu Daud meriwayatkan sabda Nabi SAW: “Perindahlah Al-Quran dengan suara kamu”.
Bukankah semua ini menunjukkan bahwa menyanyikan Al-Quran tidak terlarang, dan karena itu menyanyi secara umum pun tidak terlarang kecuali kalau nyanyian tersebut tidak sejalan dengan tuntunan Islam.
Tulisan ini dikutip dari Halaman Kalam SINDONEWS.com