Jakarta – Sejumlah Aktivis 98 yang tergabung dalam Forum Aktivis 98 Melawan, berkumpul di Jakarta pada Selasa, 13 Agustus 2024, untuk menyuarakan kegelisahan mereka terhadap kualitas demokrasi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Mereka menyoroti mundurnya Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar, yang menurut mereka adalah hasil dari intervensi politik yang tidak sehat.
Usman Hamid, salah satu aktivis yang aktif sejak era reformasi, menyebut fenomena mundurnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dari pucuk pimpinan partai berlambang pohon beringin ini sebagai sebuah “kudeta demokrasi.”
Usman menduga kuat bahwa Presiden Jokowi adalah aktor utama di balik peristiwa ini, yang dia sebut sebagai upaya pengambilalihan kekuasaan secara semena-mena.
“Ada aktor utama yang semacam melakukan kudeta demokrasi atau melakukan pengambilalihan kekuasaan secara semena-mena,” ujar Usman dikutip dari tempo.co dalam pernyataannya di Jakarta.
Lebih lanjut, Usman menjelaskan bahwa kemunduran Airlangga dari posisi ketua umum menunjukkan adanya abnormalitas dalam sirkulasi elite di Partai Golkar. Abnormalitas inilah yang, menurutnya, menjadi tanda bahwa demokrasi di Indonesia berada di titik nadir selama pemerintahan Jokowi.
Ia menilai, intervensi Jokowi terlihat jelas pada tiga pilar demokrasi. Pilar pertama, partai politik, seperti yang terjadi pada kasus Airlangga. “Kasus Airlangga ini hanyalah puncak dari gunung es,” kata Usman, yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
Usman juga menyoroti kasus kriminalisasi yang menimpa beberapa pejabat partai politik, seperti Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Pilar demokrasi kedua, lanjutnya, adalah masyarakat sipil yang mengalami pengekangan kebebasan berekspresi. Pilar ketiga adalah proses pemilihan umum yang, menurutnya, sarat dengan intervensi dan kepentingan.
Selain itu, Usman menuduh Jokowi menggunakan aparat penegak hukum seperti Polri, kejaksaan, dan lembaga peradilan lainnya untuk mengintervensi demi mempertahankan kekuasaan. Ia juga menyebut pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bagian dari strategi Jokowi.
“Jadi kita berhadapan dengan satu proses kediktatoran yang nyata. Bisa saja Jokowi sekadar tidak ingin kehilangan privilesenya setelah tidak lagi berkuasa,” tegas Usman.