LENSAKINI- Konflik agraria menjadi subur di Indonesia, salah satunya disebabkan karena jumlah perkebunan sawit yang semakin bertambah setiap dekadenya. Selain disebabkan perluasan dan alih fungsi lahan, juga berimbas pada akses terhadap lahan serta polusi yang ditimbulkan.
Pemicu konflik ditengah masyarakat yang paling disorot oleh kalangan aktifis lingkungan yakni persoalan ganti rugi lahan yang tidak sepadan. Hal ini juga sangat berdampak bagi petani sawit dan perusahan.
Berdasarkan Buku yang disusun oleh Ward Berenschot, Ahmad Dhiaulhaq, Afrizal dan Otto Hospes berjudul ‘Kehampaan Hak’ menjadi kabar baik untuk akademisi maupun entitas sosial dalam memahami dan memetakan kompleksitas konflik sawit yang terjadi di Indonesia.
Pada setiap bab dalam buku ini juga menguak kasus konflik sawit yang terjadi di Indonesia dari periode tahun 2006-2020. Permasalahan konflik perusahaan sawit dan masyarakat yang banyak terjadi di Indonesia menjadi pokok bahasan pada buku dengan tebal kurang lebih 330 halaman ini.
Penulis juga tampak mengulik konflik sebagai pertentangan yang ditunjukkan atau diekspresikan oleh warga dalam bentuk perlawanan. Konflik yang terjadi memberikan sudut pandang baru untuk melihat bagaimana negara memperlakukan warga dan sebaliknya apa respon dari warga terhadap konflik tersebut.
Secara umum, substansi dalam buku ini mengurai beberapa point penting diantaranya bagaimana kehampaan hak masyarakat, bagaimana perlawanan kehampaan hak dan bagaimana resolusi konflik yang terjadi serta rekomendasi solusi.
Hukum dan Undang-undang di dalam negeri yang belum berjalan efektif dalam menangani pertentangan warga berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan mereka. Penulis menyebutnya sebagai “Kehampaan Hak”. Istilah ini digunakan dalam memperjuangkan hak-hak warga yang tidak dapat mereka nikmati. Sebab, tidak adanya perlindungan hukum yang efektif.