Cerita Si “Mantari Bondar” Asal Marancar, Tapsel (Bagian 2)

  • Bagikan
Foto Jansen Pasaribu (86), Sang Mentari Bondar yang raih piala Kalpataru di bidang lingkungan (foto/lensakini/an)

TAPANULI SELATAN-Ternyata, puluhan tahun yang lalu, Desa Haunatas, Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara (Sumut), pernah dilanda kekeringan. Tak heran, banyak warga dari tempat itu sudah berniat meninggalkan kampung.

Kekeringan tersebut diakibatkan oleh sarana pintu air yang terbuat dari kayu dan batu yang disusun ambruk. Namun, setelah ada musyawarah dengan warga, akhirnya disepakati untuk mencari cara lain mendapatkan air.

Satu-satunya cara untuk mendapatkan air dengan memahat batu yang panjangnya lebih kurang empat meter. Dengan tekat yang kuat, seluruh warga di desa itu bergotong-royong dan akhirnya air bisa lewat dari batu itu. “Latar belakang sejarah itu, kami sangat menjaga lingkungan. Apabila ada yang menebang kayu, maka semua warga, terutama mantari bondar dan penjaga tali air akan langsung menindaknya,” ujar Jansen Pasaribu, sang “Mantari Bondar” dari Haunatas.

Untuk meringankan pekerjaannya, dibentuk tujuh orang penjaga tali air dengan satu orang ketua. Apabila ada salah seorang anggota tali air yang tidak bisa bekerja, maka ketua tali air harus melapor kepada mantari bondar. Selain itu, ketua tali air bersama anggota bertugas untuk mengutip iuran dari seluruh petani.

“Satu kali dalam setahun, persisnya setiap panen, pemilik lahan wajib memberikan dua kaleng padi kepada mantari bondar dan penjaga pinti air,” ujar Ompung Jansen ketika ditemui di rumahnya.

Sanksi yang akan didapat oleh petani yang tidak memberikan, maka dalam setahun air tidak akan mengalir ke sawah petani yang tidak memberikan upah. Untuk memilih anggota tali air harus melalui proses adat yang berlaku di daerah itu. Sehingga, keputusan penjaga tali air dan mentari bondar dianggap sudah sesuai dengan adat. (zn)

  • Bagikan