MEDAN-Selain masifnya pemberitaan tentang di media terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan ketegasan pemerintah khususnya Satgas Covid 19, membuat masyarakat tidak takut datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), sehingga partisipasi pemilih menjadi meningkat.
Hal ini diungkapkan anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI, Alfitra Salamm, dalam acara
Ngobrol Etika Penyelenggara Pemilu (Ngetren Media) di Hotel Grand Mercure, Senin (14/12) malam.
“Sebelum pilkada dimulai, banyak kelompok masyarakat yang menolak. Bahkan pribadi penyelenggara juga mengatakan sebaiknya ditunda, tetapi kenapa tetap tinggi? Feeling saya, karena terlalu seringnya berita pilkada. Dengan banyaknya berita itu, masyarakat jadi aware terhadap pilkada. Begitu juga di Medan,” jelasnya.
Dikatakannya, maraknya pemberitaan mengenai pilkada membuat persepsi masyarakat bersifat ganda. Namun, hal ini membuat masyarakat menjadi lebih mengetahui tentang pilkada.
“Meskipun beritanya ada yang pahit, manis, sinis, tetapi masyarakat menerima berita itu dan tahu bahwa ada pilkada,” ujarnya.
Sedangkan untuk pemerintah yang tegas terhadap penanggulangan penyebaran covid 19, lanjutnya, juga membuat masyarakat tidak takut untuk datang ke TPS.
Diungkapkannya, tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada Serentak 2020 ini memang cukup tinggi. Kendati demikian, tingkat partisipasi pemilih di Kota Medan masih rendah.
“Di luar dugaan partisipasi kita cukup tinggi, meskipun Kota Medan masih rendah. Tetapi kata ketua KPU mengalami peningkatan,” katanya.
Disebutkannya lagi, penyebab naiknya tingkat partisipasi pemilih pada pilkada serentak ini yakni pengaruh pasangan calon (Paslon). Meskipun harus diakui provinsi yang tidak menyelenggarakan Pilgub masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan provinsi yang menyelenggarakan Pilgub, salah satunya Kota Medan.
“Medan kan tidak berbarengan dengan Pilgub dan Medan ini memang sudah rendah. Tapi naik jadi 47 persen,” katanya.
Namun ia mengatakan, penyelenggaraan pilkada serentak kali ini bisa dikatakan sukses. Kendati demikian, ia mengakui bahwa regulasi pilkada memang rumit.
Menurutnya, terlalu banyak aturan sehingga pemahaman penyelenggara berbeda-beda dan ada yang tidak paham.
“Saya mengatakan peraturan pilkada ini tidak sederhana dan sangat rumit, sehingga pada level bawah terjadi berbeda penafsiran,” katanya.
Tim Pemeriksa Daerah (TPS) Yenni Rambe mengatakan, banyak perbedaan persepsi antara penyelenggara pilkada di tingkat bawah. Hal tersebut memicu terjadinya pelanggaran pemilu.
“Banyak juga penyelenggara yang tidak paham, khusunya di tingkat PPS dan yang kurang memahami regulasi,” katanya.
Ketua Aji Medan Liston Damanik mengatakan, wartawan memiliki kode etik untuk menjamin profesionalisme pekerjaannya. Hal ini sama seperti penyelenggara pilkada yang juga memiliki kode etik profesi. (zn)