
LENSAKINI – Di tengah gejolak perang dagang yang memanas, Presiden Amerika Serikat Donald Trump tiba-tiba melunak. Sebuah sikap yang tak biasa dari tokoh yang dikenal keras dalam strategi negosiasi.
Apakah ini tanda bahwa Amerika Serikat mulai goyah, atau justru strategi baru untuk menggiring China ke meja perundingan? Atau, mungkinkah ini bentuk diplomasi terselubung yang lebih rumit dari yang tampak di permukaan?

Perang dagang antara Amerika Serikat dan China kembali berada di titik didih. Setelah saling lempar tarif impor selama berbulan-bulan, Presiden Donald Trump secara mengejutkan menyatakan bahwa ia terbuka untuk bernegosiasi dengan Beijing.
Ia bahkan secara terbuka menyatakan bahwa China “harus menghubungi” dan “memulai pembicaraan”. Dalam politik global, pernyataan semacam ini bukan sekadar isyarat lembut, melainkan sinyal kuat bahwa tekanan internal dan eksternal sedang menghimpit strategi keras Gedung Putih.
Sejak awal masa kepemimpinan Trump, pendekatan proteksionis telah menjadi fondasi utama dalam kebijakan perdagangannya. Target utamanya adalah China, negara dengan surplus perdagangan terbesar terhadap Amerika.
Tarif demi tarif diberlakukan: dari 34% hingga 145% pada berbagai produk Tiongkok, dengan dalih menciptakan “perdagangan yang adil”. Namun, respons China pun tidak main-main.
Negeri Tirai Bambu itu menaikkan tarif atas produk Amerika menjadi 125%, langkah balasan paling agresif yang mencerminkan ketegangan yang jauh dari kata reda. Kebijakan ini bukan tanpa dampak.
Dunia usaha di AS mulai bersuara. Dari maskapai yang terguncang karena pembatalan jet Boeing oleh China, hingga petani kedelai yang kehilangan pasar ekspor terbesar mereka, tekanan politik domestik semakin menumpuk di bahu Trump.
Akibatnya, pemerintah AS mulai menunjukkan tanda-tanda keterbukaan terhadap jalur diplomasi sebuah langkah yang tampaknya ‘melunak’, tapi mungkin justru merupakan upaya taktis yang sangat berhitung.