BIARKAN BURUH MENULIS SEJARAHNYA SENDIRI

  • Bagikan

Beberapa hari yang lalu, saya ditelpon berkali-kali oleh intel polisi dari Polres Padangsidimpuan dan Polres Tapanuli Selatan, menanyakan rencana aksi mogok buruh nasional 6 Oktober 2020 menolak pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja di Padangsidimpuan.

Di arsip mereka, mungkin masih mencatat saya sebagai pengurus serikat buruh. Benar saya adalah pendiri pertama serikat buruh independen, SBSI (sekarang KSBSI) di Tapanuli Bagian Selatan. Tapi saya sudah lama berhenti sebagai pengurus.

Saya hanya menginfokan kepada mereka bahwa hampir dipastikan aksi buruh nasional tidak ada di wilayah Tabagsel, karena keberadaan serikat buruh independen independen sepertinya mati suri.

Kemarin, setelah UU Cipta Kerja disahkan media begitu ramai membicarakannya. Saya juga kebingungan dimintai pendapat oleh rekan media, karena saya belum baca naskahnya yang sudah disahkan. Saya kemudian menghubungi teman-teman serikat buruh di Jakarta. Mereka juga belum mendapatkannya.

Akhirnya senior Rekson Silaban mengirimkannya ke saya Final UU Cipta Kerja dalam bentuk file PDF ukuran 3,9 MB. Setelah dibuka, isinya 905 halaman. Saya kurang tahu persis apakah ini sudah dibaca mereka yang berteriak-teriak di medsos. Karena pasca pengesahannya, undang-undang ini telah menciptakan dua kelompok besar, mendukung dan menolak.

BURUH DI BATAS MARGIN

Sebelum membahas isi UU Cipta Kerja, ada baiknya kita flash back sejenak. Selama ini, yang mengatur kehidupan buruh di Indonesia adalah UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Ketentuan ini belum menjamin buruh Indonesia hidup layak. Jika benar-benar dilaksanakan, ini hanya menempatkan mereka di batas margin miskin. Dengan undang-undang ini buruh masih tinggal di kontrakan sempit tak higienis, makan seadanya tanpa gizi. Tak mampu menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi, hingga terjerat rentenir.

Penghasilan dan kehidupan yang minimum ini mengakibatkan gelombang pencari kerja ke negeri jiran lewat jalur resmi atau calo (tekong). Buntutnya adalah, TKI disiksa, TKI diperkosa, TKI, dibunuh, TKI dihukum mati.

Undang-undang dengan angka 13 ini membawa “sial” bagi buruh. Karena melegalkan praktek outsourcing yang melemahkan posisi tawar buruh.

Perbudakan dan trafficking dengan mengeksploitasi pengangguran banyak dilakukan oleh perusahaan manpower supply. Sistem kerja outsourcing adalah pilihan terakhir yang mengerikan, yang tak bisa ditolak buruh.

Untuk mendapatkan UU No. 13, yang mengatur penghasilan minimum ini pun, buruh berjuang mati-matian. Tidak memperolehnya dengan gratis. Tidak terkira banyaknya waktu terhabiskan untuk aksi-aksi di jalanan. Para aktivis buruh ditangkap, dipenjarakan, terbunuh dan hilang.

Setelah disahkan tujuh belas tahun yang lalu, “undang-undang minimum” ini masih banyak dikangkangi oleh pengusaha. Sepanjang tahun buruh masih harus demo untuk menuntut hak-hak normatifnya; UMP, lembur, pesangon, THR, cuti, kebebasan berserikat.

MINUS UNDANG UNDANG CIPTA KERJA

Lalu sekarang ini lahir UU Cipta Kerja, 1 dari 2 omnibus law, selain UU Perpajakan yang diajukan oleh pemerintahan Jokowi yang bertujuan untuk merampingkan regulasi dari segi jumlah dan menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran.

Ada beberapa klaster yang menjadi pembahasan dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja, yaitu: Penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendalian lahan, kemudahan proyek pemerintah dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

Setelah membaca Bab IV tentang Ketenagakerjaan, pendapat hukum beberapa pakar dan membandingkannya dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, saya melihat dengan ketentuan yang baru ini, buruh akan mendapatkan hak-hak yang lebih minim dibandingkan yang sebelumnya.

Sedikitnya ada 5 pasal yang akan merugikan buruh:

1. Kontrak kerja tanpa batas (Pasal 59)

UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sebelumnya, UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.

2. Hari libur dikurangi (Pasal 79)

Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan dikurangi. Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.

Selain itu, Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun. Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus. Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Kemudian Pasal 79 ayat (5) menyebut, perusahaan dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

3. Aturan soal pengupahan diganti (Pasal 88)

UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja. Pasal 88 Ayat (3) yang tercantum pada dalam Bab Ketenagakerjaan hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU Ketenagakerjaan. Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan. Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

4. Sanksi kepada pengusaha yang tidak bayar upah dihapus (Pasal 91)

Ketentuan selama ini mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja. Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan. Namun dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya.

5. Hak buruh memohon PHK dihapus (Pasal 169)

UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/ buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan. Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam. Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih. Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156. Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebut, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja. Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja.

Menurut saya inilah minusnya UU Cipta Kerja. Dan saya belum menemukan plusnya (bagi buruh).

KOMODITAS POLITIK

Telepas dari diskursus subtansialnya, baru kali ini saya melihat begitu banyaknya orang dan pihak yang peduli dengan nasib buruh. Postingan tolak dan dukung UU Cipta Karya bermunculan di media sosial. Ketika ada yang menyampaikan keburukannya, lalu dengan segera ada bantahan yang menyebutnya hoax.

Ada pihak yang takut issu ini akan “digoreng” oleh gerakan oposisi, termasuk yang tenar sekarang ini Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).

Banyak kita yang lupa bahwa di masa pasca orde baru dan reformasi, Partai Rakyat Demokratik (PRD) getol mendukung perjuangan buruh di seluruh Indonesia. Kader-kader militan mereka mengorganisir gerakan buruh. Tapi PRD tidak berhasil mendapatkan kursi parlemen pada pemilu 1999.

Muchtar Pakpahan, tokoh buruh yang dipenjarakan masa orde baru mendirikan Partai Buruh Sosial Demokrat (2004) dan Partai Buruh (2009). Tak satupun kursi di Senayan diperoleh partainya.

Jika ada yang mengira, buruh adalah floating mass yang bisa dicekoki dengan iming-iming kehidupan layak, itu adalah anggapan yang keliru. Jangan berpikiran cetek bahwa issue UU Cipta Kerja ini bisa menjadi komoditas politik untuk merayu pilihan politik buruh. Mereka punya pilihan sendiri atas kecintaannya sendiri. Tidak heran jika saat ini ada pedangdut, artis sinetron, komedian menjadi anggota DPR. Sebagian besar konstituen mereka adalah buruh.

Pun kalau mahasiswa sekarang ini turun ke jalan, itu harus dimaklumi karena mereka akan menjadi subjek dari UU yang kontroversial ini.

Mogok memang masih menjadi strategi ampuh buruh mempengaruhi kebijakan penguasa dan pengusaha. Tapi tidak salah jika gugatan ke MK dijadikan sebagai agenda bersama. Kawan-kawan buruh harus menggandeng semua kekuatan untuk melakukan advokasi litigasi dan non-litigasi, agar MK mengaulir pasal-pasal yang memperpanjang penderitaan buruh Indonesia.

Adalah lebih bijak bersandar pada kekuatan sendiri. Sebuah pemikiran yang sesat, jika berharap banyak pada akrobat-akrobat di sirkus politik sekarang ini. (**)

Tuliskanlah sendiri sejarah hidupmu.

Padangsidimpuan, 07 Oktober 2020

 

  • Bagikan