PEREMPUAN sebagai korban dari suatu bencana yang memiliki risiko tinggi terkena dampak dari bencana seperti cidera, sakit, trauma, masalah psikis dan bahkan kematian. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh YCP pada tahun 2020, perempuan menjadi kelompok paling rentan yang mengalami dampak negatif dari pandemi COVID-19.
Perempuan yang cenderung menjadi pihak utama yang berperan penting dalam menyelesaikan tugas rumah tangga, selama pandemi tugasnya kian jauh lebih berat. Saat terjadinya bencana, kaum hawa rentan mengalami kekerasan berbasis gender.
Kekerasan berbasis gender merupakan istilah yang digunakan sebagai payung untuk setiap Tindakan berbahaya yang dilakukan diluar kehendak seseorang dan didasari oleh perbedaan nilai sosial antara laki-laki dan perempuan yang meliputi, berbagai Tindakan yang menyebabkan percideraan fisik, seksual, dan mental serta ancaman, pemaksaan, dan pembatasan kebebasan yang terjadi di ruang publik maupun privat.
Perempuan remaja, perempuan kepala rumah tangga, perempuan janda, perempuan lajang, ataupun perempuan yang menjadi orangtua tunggal merupakan karakteristik perempuan yang memiliki risiko tinggi mengalami kekerasan berbasis gender.
Situasi bencana dapat meningkatkan kekerasan berbasis gender, baik itu saat terjadinya bencana maupun setelah terjadinya bencana. Hal ini dikarenakan kurangnya sistem perlindungan sosial untuk perempuan.
Terpisahnya perempuan dari anggota keluarga, dan lemahnya keamanan dan keselamatan pada tempat pengungsian atau hunian sementara. Kekerasan berbasis gender yang sering ditemui adalah kekerasan fisik seperti pemukulan, seksual seperti percobaan pemerkosaan, pemerkosaan, pemerkosaan dengan banyak pelaku, pelecehan seksual.
/Faktor Penyebab/
Terdapat banyak hal yang menyebabkan perempuan lebih rentan dibandingkan dengan laki-laki dalam menanggapi risiko dan dampak akibat bencana antara lain, terbatas dalam mengakses pendidikan serta mendapatkan informasi, koneksi sosial yang tidak luas, ketidaksetaraan penggunaan kekuasaan, jenis struktur keluarga yang menganut sistem patriarki, perbedaan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam mengakses fasilitas umum seperti fasilitas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, merupakan anggota dari kelompok minoritas atau memiliki bahasa yang berbeda, dan berbagai hal lainnya.
Faktor yang pertama adalah tingkat pengetahuan dan akses dalam menjalani pendidikan yang berbeda karena antara perempuan dan laki-laki. Kurangnya akses terhadap pendidikan menyebabkan perempuan memiliki jumlah pengetahuan serta informasi yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan laki-laki.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa dalam menanggapi risiko akibat terjadinya suatu bencana, informasi dan pengetahuan terhadap penanganan atas bencana tersebut merupakan suatu hal yang sangat penting. Hal ini menyebabkan perempuan cenderung kurang akses terhadap kesiapsiagaan, mitigasi, dan rehabilitasi bencana.
Perempuan sering dianggap lemah, sehingga keterlibatan perempuan dalam penanggulangan bencana pun sangatlah minim. Selain itu, proses memutuskan suatu tindakan terhadap permasalahan yang sedang dihadapi tidak dapat dilakukan dengan baik ketika individu memiliki tingkat pendidikan serta pengetahuan yang rendah terhadap permasalahan tersebut (Wakefield, 2005).
Faktor selanjutnya adalah faktor kebudayaan dan norma yang berkembang di masyarakat. Peran gender yang ditetapkan oleh kebudayaan lebih menguntungkan laki-laki dibandingkan dengan perempuan dalam menanggapi risiko bencana (Isik et al., 2015; Gokhale, 2008; Nelson et al., 2002). Dalam kebudayaan tradisional, perempuan yang merupakan istri dan ibu memiliki peran sebagai individu yang berat.
PENULIS: Fadhilah Aini, Nazri Sakinah, Binta Shahida Anwar, Jeneri Febriansyah.