MUI, Fatwa dan Pandemi Covid-19

  • Bagikan
Muhammad Asroi Saputra (Komisi Informasi Dan Komunikasi MUI Kota Padangsidimpuan)

Rentetan awal munculnya Covid-19 sudah tidak asing lagi di seantero dunia, China tercatat sebagai negara yang pertama sekali melaporkan kasus Covid-19 di dunia, tepatnya pada penghujung tahun 2019 yakni tanggal 31 Desember 2019 di Kota Wuhan Provinsi Hubei, yang disebut sebagai kota terpadat di China bagian tengah dengan luas 8.494,41 kilometer persegi dengan iklim subtropis dengan curah hujan yang tinggi (berdasarkan data New World Encyclopedia).

Posisi Wuhan yang berada di jantung negara China menjadikannya sebagai lalu lintas transportai utama ke seluruh penjuru negeri, BBC menuliskan bahwa Bandara Internasional Wuhan menawarkan penerbangan langsung ke London, Dubai, Paris dan kota lainnya di seluruh dunia. Tepat pada tanggal 2 Maret 2020, berkisar 2 bulan sejak kasus pertama Covid-19 di China, Presiden Jokowidodo, bertempat di Istana negara mengumumkan secara resmi bahwa dua orang warga negara Indonesia positif terjangkit Covid-19 yang disebut memiliki kontak langsung dengan warga negara Jepang yang berkunjung ke Indonesia, dan pada tanggal 11 Maret 2020 lelaki berusia 59 tahun menjadi korban covid-19 di Solo.

Advertisement

Saat ini diketahui bahwa angka kesembuhan di Indonesia dari Covid-19 terus meningkat melampaui angka kematian, namun ini tidak menjadi tolok ukur bagi kita bahwa wabah virus ini akan segera teratasi. Menangani penyebaran Virus Covid-19 ini tentunya semua elemen harus dilibatkan, sebut saja “Perang Total” menghadapi Covid-19, dan semua elemen bangsa tersebut menjadi garda terdepannya.

Tentunya, agresifitas pemerintah dalam memimpin pertempuran ini sangat dituntut lebih untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19. Setiap warga negara perlu menyadari bahwa kita berada dalam gerbong yang sama, maka jika ada masalah di gerbong tersebut, semua kita akan terkena imbasnya, sangat diharapkan, setiap orang, sesuai keahlian dan kemampuannya wajib berkontribusi untuk mengalahkan corona, karena kita ketahui bahwa Covid-19 tidak pandang bulu menyerang siapapun.

Indonesia dengan umat Islam, sebagai penganut agama mayoritas pun diajak untuk berperan aktif, yakni dengan melakukan ibadah, kerja dan belajar dari rumah, apalagi di saat bulan suci ramadhan ini. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyikapi hal ini, telah meminta seluruh umat Islam di Indonesia untuk membatasi ibadah seperti shalat taraweh berjamaah, berbuka puasa bersama, dan lainnya yang berpotensi mengumpulkan jumlah massa, hal ini dilakukan guna mencegah penyebaran Covid-19 saat bulan Ramadhan.

Tentunya, tidak bermaksud untuk meniadakan ibadah sama sekali, maka MUI menerbitkan Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19, berisi 9 diktum fatwa yang merupakan satu kesatuan, dan 3 rekomendasi kepada pemerintah yang ditetapkan pada tanggal 16 Maret 2020, dan selanjutnya Fatwa ini diteruskan kepada MUI semua daerah, Provinsi, Kabupaten/Kota, hingga Kecamatan di seluruh Indonesia yang digandengkan dengan surat imbauan agar umat Islam terhindar dari terpapar Virus Covid-19.

Terbitnya Fatwa MUI tidak semulus yang dibanyangkan, atau tidak semudah penyebaran covid-19 di tengah masyarakat, tetap saja menyisakan pro dan kontra oleh sebagian masyarakat, ini lebih banyak dipicu kesalahfahaman dan parsialitas dalam memahami fatwa, disamping kurang massivenya sosialisai dan sebaran fatwa ini tentunya, yang seharusnya dilakukan pertemuan yang bersifat sosialisasi kepada seluruh BKM masjid terkait fatwa tersebut.

Sebut saja, jika seseorang terkena Covid 19, dia tidak boleh beribadah di tempat umum, bukan berarti tidak boleh melaksanakan ibadah sama sekali, ada hal yang harus difahami yakni kondisionalitas terkait kawasan dan kondisionalitas terkait person.

Seseorang yang sudah positif terkena Virus Covid-19 tidak boleh berada dalam komunitas publik, termasuk untuk kepentingan ibadah yang bersifat publik, bukan berarti meniadakan ibadah. Namun semata-mata untuk kepentingan Himayah agar tidak menularkan kepada yang lain.

Sedangkan jika seseorang berada dalam kondisi sehat dan bertempat di kawasan dengan tingkat potensi rendah, maka kewajiban melaksanakan ibadah seperti sholat jumat tetap dilaksanakan, tentunya dengan memperhatikan protokol kesehatan, sosial kehidupan bermasyarakat. Dan tidak hanya sampai disitu, akan kita dapati juga jemaah masjid yang sama sekali tidak perduli dengan fatwa atau imbauan tersebut, karena pemahaman yang parsial dan tidak tuntas dengan yang disebut ikhtiar, serahkan saja pada Allah, sehingga enggan untuk melaksanakan protokol beribadah di masa wabah Covid-19, padahal dalam urusan sederhana saja, untuk menyeberang di jalan raya, tetap harus melihat kiri dan kanan untuk menghindari potensi tertabrak kenderaan, dan inilah yang tidak duduk pemahaman ikhtiar tersebut.

Para ulama, da’i atau pendakwah, para ustadz atau apalah sebutannya, tentunya didorong untuk memberikan pemahaman di tengah-tengah masyarakat terkait bahaya Covid-19 ini secara massive, sistematis dan terstruktur, dengan menggunakan semua media yang ada, dan meminta segenap umat Islam untuk menaati fatwa MUI serta imbauan para ulama tersebut, sebagaimana tercantum dalam quran surah An-Nisa ayat 59 tentang kewajiban taat kepada Allah SWT, Rasulullah SAW, Ulama dan para pemimpin.

Saat ini, saat kita semua untuk mewakafkan diri dengan menhadirkan empati, terutama kepada sekeliling kita yang mengalami kepanikan terkait Covid-19, kepanikan finansial dan lainnya, Saatnya kita “menengok” tetangga, bagaimana kondisi tetangga kita, terutama persoalan ketahanan pangannya. Momentum aturan kerja di rumah simanfaatkan untuk saling bertegur sama agar mengetahui kondisi satu sama lain.

Kita harus percaya bahwa bencana Covid-19 akan mudah diatasi jika ada lebih banyak lagi yang mewakafkan dirinya untuk kemanusiaan, tentunya terlatih dan bersedia bergerak kolaboratif dengan pihak-pihak terkait. Karena dengan mewakafkan diri kita menjadi teladan bagi yang lainnya. Sebagaimana dalam sebuah hadits disabdakan baginda Rasulullah Muhammad SAW Khoirunnas, anfa’uhum linnas, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Saatnya bersatu padu bersama pemerintah untuk saling memberikan semangat dan membantu memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19. Kita Bisa!(.)

Oleh: Muhammad Asroi Saputra

(Komisi Informasi Dan Komunikasi MUI Kota Padangsidimpuan)

 

  • Bagikan