LANGKAH POLITIK AKHYAR NASUTION

  • Bagikan

DINAMIKA politik sering memunculkan ledakan-ledakan spektakuler. Masyarakat Kota Medan melalui media mainstream dan media social, sempat dikejutkan dengan sikap politik Akhyar Nasution. Pelaksana Tugas Walikota Medan sekaligus kader tulen PDIP pimpinan Megawati Soekarno Putri itu, berputar haluan politik. Akhyar Nasution mengambil sikap hijrah ke Partai Demokrat. Sebuah langkah taktis, strategis dan politis menyongsong kontentasi kepala daerah Kota Medan tanggal 9 Desember 2020 mendatang.

Kejutan politik yang dilakukan Akhyar Nasution, satu sisi merupakan potret buruk cermin belantika politik kita di Kota Medan. Secara adab dan etika politik, justru Akhyar dianggap sebagai kader yang tidak berterimakasih. Ia mempertontonkan ke publik bahwa betapa gampangnya para elit politik kita di kota ini pindah baju, pindah ideologi demi memperebutkan kekuasaan politik. Begitu pun, Akhyar Nasution tak perlu dihukum dan mendapatkan sanksi sosial hanya gara-gara langkah politiknya pindah ke Partai Demokrat. Sikap yang ditunjukkan Akhyar Nasution itu, justru patut diacungkan jempol, ketika PDIP mengabaikan kadernya yang penuh berkhidmat pada kontestasi pilkada Kota Medan.

Akhyar Nasution, secara politik terus menerus mendapat tekanan politik luar biasa akibat pengaruh kekuasaan di negeri ini. Komunikasi politik, lobby politik telah berulangkali dilakukan kepada elit PDIP di Propinsi maupun Pusat. Tapi ternyata, turbulensi komunikasi politik yang dilakukan tetap tersumbat antara Akhyar Nasution dengan elit politik DPP PDIP. Pengaruh kekuasaan justru menjadi alasan utama dalam politik. DPP PDIP meski belum mengumumkan secara resmi siapa calon yang diusung untuk Pilkada Kota Medan, tetapi kincir arah angin politik hampir dipastikan mengusung Bobby Afif Nasution yang notabenenya menantu Presiden Joko Widodo.

Meminjam Teori Dramaturgi (1956), Ervin Goffman menyebut bahwa elit politik dalam sebuah kontestasi acapkali menampilkan dua panggung. Pertama, panggung depan (front stage). Elit politik sering menampilkan hal-hal yang baik di depan publik sebagai bentuk kesuksesan politiknya guna mempengaruhi publik. Kedua, elit politik sering menampilkan pola panggung belakang (back stage). Elit politik bermain catur di belakang layar untuk mendapatkan tujuan politik. Saya ingin katakan satu dua bulan ini, merupakan bulan politik bagi para elit politik yang berkhitmad di pilkada, termasuk di Kota Medan. Dalam konteks politik, tampilan panggung depan Akhyar Nasution sebagai kader PDIP gagal dilakukan. Komunikasi politik Akhyar merebut tikel PDIP untuk maju ke Pilkada Medan belum berhasil akibat sumbatan pesan komunikasi politik. Intervensi politik justru mengelabui panggung depan Akhyar Nasution mengambil tiket PDIP.

Sebaliknya, Akhyar Nasution sukses menampilkan panggung belakang. Lobi politik, yang dilancarkan kepada beberapa elit politik di sejumlah partai politik sukses dilakukan. Awalnya, Akhyar Nasution dari panggung belakang sempat meresek ke PAN. Beberapa elit PAN di DPP sempat berjumpa dengan Akhyar dan Ketua Umum DPP PAN Zulkifli Hasan. Lagi-lagi drama politik panggung belakang yang dilakukan Akhyar Nasution kepada PAN belum berhasil. Panggung belakang justru sudah dilakukan kepada Partai Demokrat, ia pun sukses dan mendapatkan tiket untuk maju dari Partai Demokrat. Tapi, fakta 4 kursi tidaklah cukup bagi Akhyar untuk melaju ke Pilkada Medan. Panggung belakang terus dilakukan, akhirnya Akhyar Nasution mendapatkan restu DPW PKS Sumut untuk direkomendasikan oleh DPP PKS.

Perjalanan panjang, drama politik panggung belakang yang dilakukan Akhyar Nasution tidak diketahui publik. Tapi akhirnya, mengapa Akhyar Nasution sukses menjalankan politik panggung belakang? Jawabnya, karena ada konsensus politik. Kesepakatan politik bersama tentu dibangun dari panggung belakang. Drama politik ternyata tidak semata-semata dibangun dari panggung depan, tetapi lebih jauh dari itu, justru diperkuat dari panggung belakang. Bagi saya, langkah politik yang dilakukan Akhyar Nasution patut diacungkan jempol. Sikap politik Akhyar, hijrah ke Partai Demokrat adalah kerja-kerja politik yang dilakukan di panggung belakang. Publik tidak perlu terkecoh, publik sejatinya menghargai kerja-kerja politik Akhyar Nasution, bukan justru mem-bully-nya dengan sanksi sosial. Biarlah figur yang sederhana ini melanggeng mempereburkan Walikota Medan dan berkompetisi dengan rival kuatnya Bobby Afif Nasution.

Ketika dua calon ini, yakni Akhyar dan Bobby mendeklarasikan diri pada waktunya nanti, maka di saat itulah kompetisi sesungguhnya terjadi. Masing-masing kubu, dari dua pasangan itu bakal memposisikan pasangannya paling hebat dan bakal menang. Rakyat kita sebagai pemilih utama, akan menampilkan diri untuk peduli kemenangan pasangan yang didukungnya masing-masing. Di saat itu pulalah, semua kita abai dengan adab, etika bahkan akhlak sesama kita. Panglima masing-masing pasangan ketika itu bukan lagi adab dan etika, tetapi pengaruh kekuasaan. Oleh banyak pihak, andai saja dua pasangan ini berkompetisi di pilkada Medan, maka tensi politik diprediksi tajam. Akan terjadi dua polarisasi politik. Pertama, polarisasi kekuataan raksasa atas kekuasaan dari pusat. Hari ini Bobby punya kekuatan dari pengaruh pusat. Karena ia merupakan menanti Presiden Joko Widodo. Kedua, polarisasi rakyat bawah sebagai pemilik suara tunggal pilkada Medan. Rakyat bakal bertarung habis-habisan melawan kekuasaan.

Penutup

Di akhir tulisan ini, saya ingin katakan bahwa langkah politk Akhyar Nasution kan menjadi celah politik, menguatkan barisan pendukung Akhyar plus dengan partai politik pendukungnya, sekaligus membuka mata kita di Kota Medan, bahwa sesungguhnya politik itu tetap dinamis. Politik tidak berjalan kaku, politik hidup di mana saja, karena politik akan ditentukan pada menit-menit terakhir. Sikap Akhyar Nasution ini, setidaknya menjadi pelajaran politik yang baik, bagi rakyat kita bahkan secara khusus bagi para elit politik di Kota Medan.**

** Penulis adalah Analis Komunikasi Politik UINSU, Dosen Pascasarjana UINSU dan UMSU di Medan *

  • Bagikan