Hukuman Mati Dapat Menjerat Terduga Tersangka Korupsi Dana Covid-19 Dinkes Padangsidimpuan

  • Bagikan
Abdur Rozzak Harahap, S.H (Praktisi Hukum)

KEPALA Kejaksaan Negeri (Kajari) Padangsidimpuan berserta seluruh jajaranya pada Rabu 29 Juni 2022, telah menetapkan tersangka yaitu SS selaku Kadis Kesehatan Padangsidimpuan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran dan PH selaku bendahara pengeluaran pada dinas kesehatan kota padangsidimpuan dalam dugaan tindak pidana korupsi dana belanja tidak terduga (BTT) TA 2020, untuk kegiatan operasional petugas monitoring Covid-19 di Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan, Provinsi Sumatera Utara.

Proses pengungkapan dugaan Tindak Pidana Korupsi dana BTT oleh Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan hampir masuk tahun ke 2, sejak dimulainya penyelidikan pada tahun 2020.

Dalam konferensi pers Kepala Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan, menyampaikan lamanya proses penangan kasus tersebut, bukan karena tidak diproses melainkan karena adanya pergantian Kepala Kejaksaan dan Kepala Seksi Penyidikan Khusus, sehingga perlu mempelajari kembali berkas perkara tersebut.

Berdasarkan penyelidikan dan penyidikan yang telah dan sedang berlangsung, penyidik pada Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan, telah menemukan dua alat bukti yang cukup serta berdasarkan audit yg dilakukan oleh auditor indpenden, telah menemukan kerugian keuangan Negara sebesar Rp. 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah).

Kepala Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan menyebutkan Tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 dan Pasal 3 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Pertanyaan kepada Jaksa, beranikah Jaksa menuntut hukuman mati terhadap Tersangka dengan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor ? Mengingat Tersangka saat melakukan dugaan tindak pidana korupsi ketika terjadi bencana alam yaitu wabah COVDI-19 yang oleh pemerintah telah ditetapkan sebagai bencana alam nasional.

Tuntutan hukuman mati kepada Tersangka sangat beralasan hukum. Alasan tersebut dikarenakan dana BTT Covid-19 yang dikorupsi oleh tersangka adalah dana dari Pemerintah yang telah mengucurkan dana tambahan belanja anggaran pendapatan dan belanja negara tahun 2020 untuk penanganan COVID-19. Totalnya sebesar Rp405,1 triliun.

Dengan Rinciannya yaitu (i) Rp75 triliun untuk belanja bidang kesehatan; (ii) Rp110 triliun untuk perlindungan sosial; (iii) Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat; dan (iv) Rp150 triliun untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional.

Kebijakan tersebut didasarkan pada terbitnya regulasi yaitu peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2020, tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (“Perpu Nomor 1 Tahun 2020”).

Dalam peraturan tersebut menerangkan, bahwa pejabat pemerintahan yang diberi amanat mengelola dana ini dan menyalahgunakan kewenangannya, dapat diancam sanksi pidana. Hal ini berlaku bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Dapat dibaca dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 mengatur bahwa:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”

Selanjutnya Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 tersebut menegaskan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dilakukan dalam Keadaan Tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Apa yang dimaksud dengan Keadaan Tertentu?

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menjelaskan bahwa:

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, BENCANA ALAM NASIONAL, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Status wabah COVID-19 di Indonesia telah ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai BENCANA ALAM NASIONAL.

Berdasarkan Pasal UU Tipikor tersebut diatas dan status Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai BENCANA ALAM NASIONAL, menurut hemat saya, penyalahgunaan alokasi dana penanggulangan wabah COVID-19 dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu. Pelakunya dapat diancam dengan pidana TUNTUTAN MATI dan pidana HUKUMAN MATI.

Oleh karenanya, cukup beralasan hukum dan berdasarkan fakta-fakta di persidangan nantinya, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan dalam surat dakwaannya wajib mendakwa kepada Tersangka dengan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Beranikah Jaksa Penuntut Umum melakukannya ?

  • Bagikan