MEDAN- Setelah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur (Jatim), KH Hasan Mutawakkil menyatakan Vaksin Astrazeneca halalan toyyiban dan telah bersedia disuntik vaksin itu awal minggu ini, MUI pun langsung bereaksi.
Melansir dari laman mui.or.id, MUI Pusat membuat pernyataan bahwa ada persamaan dan perbedaan Fatwa MUI Pusat dan MUI Jatim tentang vaksin AstraZeneca.
Persamaannya adalah boleh digunakan. Sedangkan perbedaannya adalah MUI Jatim membolehkan penggunaan vaksin itu karena halal. Sedangkan MUI Pusat membolehkan penggunaan vaksin iru karena faktor darurat.
Perbedaan lain, pada status vaksin dan metode istinbath hukumnya. Jatim menetapkan vaksin AstraZeneca halal dengan argumen istihalah atau perubahan benda najis menjadi suci, mutlak. Rujukannya madzhab Hanafiyah dan Malikiyah.
Dianalogikan dengan perubahan anggur (suci) menjadi khamr (najis), lalu jadi cuka (suci). Kulit bangkai (najis) menjadi suci setelah disamak, juga proses istihalah.
Sedangkan MUI Pusat menetapkan vaksin AstraZeneca haram karena tidak menerima istihalah secara mutlak, dikecualikan pada babi dan turunannya. Rujukannya madzhab Syafi’iyah yang memegang prinsip hati-hati (ikhtiyath) dan keluar dari polemik (khuruj minal khilaf).
Jadi, pada perubahan khamr jadi cukak, kulit bangkai disamak, termasuk tanaman yang pakai pupuk najis berbuah suci, MUI Pusat menerima. Tapi tidak pada pemanfaatan bahan dari babi dan turunannya.
Dengan prinsip tersebut, bagi MUI Pusat, memanfaatkan bahan dari babi adalah haram. Terlepas di akhir proses itu muatan babinya masih ada atau tidak.
Jadi, MUI Pusat memberi status haram pada vaksin AstraZeneca karena tahapan awal prosesnya memanfaatkan bahan dari babi, bukanlah metode istinbath baru. Tidak terjadi pada kasus vaksin AstraZeneca saja. Telah diterapkan dan menjadi pilihan standar halal pada fatwa-fatwa sebelumnya.
Ini sudah diketahui dan diterima berbagai lembaga sertifikat halal manca negara yang tunduk pada standar MUI Pusat.
Tapi tidak buntu di situ. Bagaimana dengan vaksinasi? MUI Pusat memberi jalan keluar dengan kaidah hajat dan darurat. Bukan Tahlilul Haram atau enghalalkan yang haram atau Tahrimul Halal atau mengharamkan yang halal. Tapi memubahkan yang haram karena darurat (konsep hukumnya: mubah, bukan halal). Wallahu a’lam bi ash-shawab. (**)