LENSAKINI-Meski sempat tertunda keberangkatannya selama 2 tahun akibat pandemic COVID-19, sebagian jemaah haji asal Indonesia telah diberangkatkan menuju Tanah Suci.
Ketika sudah pulang ke tanah air, para jemaah haji asal Indonesia tersebut akan mendapatkan gelar Haji. Namun, penyematan gelar Haji tersebut hanya ada di Indonesia.
Dikutip dari Kompas.com, Guru Besar bidang Ilmu Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Syamsul Bakri, membenarkan penyematan gelar Haji hanya ada di Indonesia.
Menurutnya, meski gelar Haji telah banyak ditemukan di negara lain, tetapi dalam sejarahnya hanya ada di Indonesia.
“Itu khas Indonesia, tidak ada di negara lain. Buktinya di Timur Tengah tidak ada gelar Haji, orang Barat juga tidak bergelar Haji walaupun sudah haji,” ujarnya kepada wartawan. Jumat (10/6/2022).
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama UIN Raden Mas Said ini juga membenarkan asal gelar Haji dari pemerintah Hindia Belanda.
Dahulu, orang-orang pribumi yang menunaikan ibadah haji diduga terpapar paham Pan-Islamisme, salah satu paham pemberontak kolonialisme selain komunis.
Syamsul menjelaskan, ada dua paham lawan kolonialisme pada saat itu, yakni kelompok kiri yang dikenal dengan komunis, serta Pan-Islamisme.
Penyematan gelar haji
Pan-Islamisme mengajarkan bahwa umat Islam di seluruh dunia harus bersatu untuk dapat terbebas dari kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat.
Paham ini, bersumber dan menyebar dari Tanah Suci, tempat Muslim menggelar ibadah haji.
“Dulu orang haji tidak seminggu sebulan, bahkan bertahun-tahun, karena di sana sambil ngaji, sambil bekerja, macam-macam, dan ada interaksi orang yang berhaji dari berbagai negara,” tutur Syamsul.
Menguatnya paham Pan-Islamisme kala itu, hingga pemerintah kolonial yang takut akhirnya menyematkan gelar Haji sebagai penanda.
“Maka orang-orang yang sepulang haji ditandai dan diberi gelar Haji oleh pemerintah kolonial, menyatu dengan namanya,” jelas Syamsul.
Ia menegaskan, gelar Haji pemberian Belanda juga bukan merupakan gelar penghormatan.
Melainkan, untuk berjaga-jaga jika mereka mempengaruhi masyarakat untuk melakukan kritik dan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial.
Mulai awal abad ke-20
Hal serupa dijelaskan pula oleh sejarawan dan pendiri Komunitas Historia Indonesia, Asep Kambali dalam unggahan TikTok sebagaimana dikonfirmasi Kompas.com pada Jumat (10/6/2022).
Gelar Haji adalah Gelar Pemberont4k! Begini sejarahnya! ???? Tonton sampai kelar ya ???? @komunitashistoria
Asep menuturkan, gelar Haji merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan penyebaran paham Pan-Islamisme dari ibadah haji yang merebak pada awal abad ke-20.
“Salah satunya sejak 1916, pemerintah Belanda menyematkan gelar Haji di depan nama setiap penduduk muslim yang ada di Hindi Belanda dengan maksud agar mudah diawasi,” jelas dia.
Kala itu, semangat kemerdekaan terus digaungkan oleh tokoh Islam, terutama mereka yang telah kembali dari ibadah haji.
Maka dapat disimpulkan, imbuh Asep, gelar Haji adalah gelar pemberontak yang diberikan penjajah kepada penduduk Indonesia saat itu.
Asep mencontohkan beberapa tokoh yang sukses menyuarakan perlawanan kolonialisme usai beribadah haji.
Di antaranya, KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah pada 1912, KH Hasyim Asyari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926, KH Samanhudi pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1905, dan HOS Cokroaminoto pendiri Sarekat Islam (SI) 1912.
“Berdirinya organisasi-organisasi Islam ini mengkhawatirkan pihak Belanda karena tokoh yang pulang dari ibadah haji dianggap sebagai seorang yang suci,” ujar Asep.
Pasalnya, menurut Asep, para Haji yang dianggap sebagai orang suci itu akan lebih didengar penduduk awam yang ada di Hindia Belanda.
“Dulu para kiai tidak ada yang memiliki gelar haji. Namun, karena perlawanan yang dilakukan umat Islam terhadap kolonial terutama yang baru pulang dari ibadah haji, maka disematkanlah gelar itu,” papar Asep. (zn)