MEDAN (LENSAKINI) – Penangkapan Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir Juli 2025 kembali mengguncang kepercayaan publik terhadap integritas pemerintahan daerah.
Dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan di Medan, KPK diduga mengamankan sejumlah barang bukti terkait suap proyek infrastruktur yang melibatkan pejabat tinggi dinas. Sosok yang ditangkap, Topan Ginting, bukan nama asing dalam birokrasi Sumut.
Penahanan ini tidak hanya berdampak pada citra Pemprov Sumut, tetapi juga mempertegas bahwa praktik korupsi di level daerah masih menjadi persoalan serius yang belum tertangani secara sistemik.
OTT ini seolah memperlihatkan bahwa korupsi di daerah telah menjadi budaya yang mengakar.
Padahal, selama bertahun-tahun, pemerintah pusat telah mendorong penguatan pengawasan, transparansi anggaran, serta integritas aparat birokrasi.
Namun, hasilnya belum tampak signifikan. Proyek-proyek berskala besar, terutama yang dibiayai oleh APBD maupun Dana Alokasi Khusus (DAK), masih menjadi ladang basah bagi pejabat yang memiliki kekuasaan menentukan pemenang tender dan rekanan proyek.
Tidak heran jika banyak kontraktor mengeluhkan sistem lelang yang hanya formalitas, karena “pemenang” sudah ditentukan jauh sebelum dokumen dilelangkan.
Lebih mengkhawatirkannya lagi, penangkapan Topan Ginting bukanlah kejadian pertama yang terjadi di Sumatera Utara. Beberapa pejabat daerah sebelumnya juga telah dijerat dalam kasus serupa.
Ini mencerminkan bahwa upaya pencegahan selama ini belum menyentuh akar persoalan. Pendekatan yang dilakukan masih bersifat reaktif dan tidak menyentuh reformasi struktural.
Padahal, sistem pengadaan barang dan jasa yang terbuka, penggunaan teknologi dalam pengawasan proyek, serta penguatan peran masyarakat sipil seharusnya bisa menjadi benteng awal dalam mencegah praktik-praktik penyimpangan.
Kasus ini juga memunculkan pertanyaan lebih besar, apakah benar integritas birokrasi daerah sudah runtuh, atau justru kita sedang menyaksikan puncak gunung es dari jaringan korupsi yang lebih luas?
Dalam banyak kasus, seorang kepala dinas tidak bekerja sendiri. Ada aktor politik, pengusaha, dan terkadang bahkan jaringan lintas sektor yang saling melindungi satu sama lain.
Inilah yang menyebabkan penindakan hukum saja tidak cukup. Perlu ada kesadaran kolektif, terutama dari kepala daerah dan legislatif, untuk membenahi sistem dari dalam.
Di sisi lain, publik mulai kehilangan rasa terkejut. OTT yang dilakukan KPK, yang dulunya dianggap sebagai momen besar, kini hanya menjadi berita sesaat.
Di media sosial, kasus seperti ini cepat berganti dengan isu lain yang lebih viral. Ketidakpedulian publik terhadap korupsi di daerah adalah ironi, sebab dampaknya langsung dirasakan masyarakat.
Baik jalan rusak, sekolah terbengkalai, irigasi tak berfungsi, dan layanan publik yang buruk. Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga bentuk kezaliman terhadap hak-hak dasar warga.
Kasus OTT Kadis PUPR Sumut semestinya menjadi momentum refleksi, tidak hanya bagi pejabat di Sumut, tetapi juga seluruh kepala daerah dan pemangku kepentingan di Indonesia.
Sudah saatnya pencegahan korupsi tidak hanya menjadi jargon, tetapi diimplementasikan melalui mekanisme kontrol yang kuat dan transparan.
Simak Breaking News dan Berita Pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita LENSAKINI.COM WhatsApp Channel: KLIK DISINI