UU Cipta Kerja Menurut Pejuang Buruh Sekaligus Pendiri SBSI

  • Bagikan
Prof. Dr. Muchtar Pakpahan (Pejuang buruh, Pendiri SBSI)

LENSAKINI – Pengesahan UU Cipta Kerja pada Senin, 5 Oktober 2020 mengundang reaksi (pro-kontra) berbagai kelompok. Buruh dan mahasiswa menjadi kelompok yang paling keras melakukan penolakan. Sejak UU Cipta Kerja disahkan, sampai saat ini mereka (baca; buruh/mahasiswa) masih melakukan demonstrasi di berbagai daerah.

Prof. Dr. Muchtar Pakpahan, sebagai tokoh pejuang buruh dan pendiri SBSI turut angkat bicara. Kepada awak media ia mengirimkan tulisannya terkait UU Cipta Kerja. Berikut tulisan beliau.

Salam solidaritas,

Sebagai pegangan, bersama ini saya share RUU Cipta Kerja yang disahkan pada 5 Oktober 2020, yang kami peroleh dari Baleg DPR-RI pada Sabtu 9 Oktober 2020. Keduanya setebal 1028 halaman.

Untuk membantu pembaca, klaster ketenagakerjaan dimulai dari halaman 553.

Topik-topik penting yang membuat buruh menderita karena hukum ini.

1. Keseluruhan UU Cipta Kerja.
Secara keseluruhan materi pengaturan dari UU Ciptaker ini, adalah berisi ketentuan yang tujuannya memudahkan berinvestasi.

Dalam rangka memudahkan berinvestasi, terjadi ancaman pelanggaran Hak Azasi Manusia yang bila dikaitkan dengan alinea 4 Pembukaan UUD NRI 1945 yang lebih lanjut penjabarannya dalam Pasal 1 (3), Pasal 28, Pasal 27 (2), Pasal 33 UUD NRI 1945.

Sebenarnya titel atau nama undang-undang ini yang lebih tepat adalah Undang-Undang Tentang Kemudahan Berinvestasi.

2. Menjadi Buruh Kontrak Selama Bekerja.
Dalam Pasal 89 UU Ciptaker ini dinyatakan menghapus Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Padahal Pasal 59 UU Ketenagakerjaan berbunyi: “PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.”

Dengan dicabutnya Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, berarti tidak ada lagi pembatasan masa waktu status buruh kontrak, atau akan menyandang status buruh kontrak (kuli kontrak istilah Bung Karno) selama bekerja.

Sistem ini oleh Bung Karno disebut d’exploitation d’lhome par lhome (penghisapan darah manusia oleh manusia) dan sistem ini sebagai anak kandung kapitalis harus dihapus dari bumi Indonesia.

3. Memberlakukan Outsorcing di Semua Bidang Kerja.
Pasal 89 UU Ciptaker menghapus Pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan. Padahal Pasal 65 (2) UU Ketenagakerjaan berbunyi: “Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi kerja;
c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.”

Pasal 65 (2) UU Ketenagakerjaan ini adalah sebagai jaminan tidak semua bidang kerja dapat di”outsourcing”kan. Hanya pekerjaan yang tidak ada hubungan dengan kegiatan utama atau core bisnis. Dengan UU Ciptaker semua sudah dapat di”outsourcing”kan serta tanpa batas waktu.

UU Ciptaker memperluas outsorcing atau “aannemer”. Semua pekerjaan bisa di”outsourcing”, dan sekali outsourcing akan menjadi outsourcing selama bekerja. Menurut Bung Karno, Aannemer (Bahasa Belanda= Outsorcing Bahasa Inggris) adalah salah satu perbudakan kapitalis yang harus dihapus dari bumi Indonesia.

Sebagai catatan. PDI-Perjuangan dua kali berkuasa sebagai Presiden RI Megawati Soekarnoputri (2001-2004) serta PDIP fraksi terbesar (1999-2004) dan Presiden RI Joko Widodo (I. 2014-2019; II. 2019-2024) serta fraksi terbesar (2014-2024), dua kali memenangkan kapitalis, mengizinkan rakyat marhaen menderita.

Pertama, dengan memasukkan outsourcing dan PKWT (kuli kontrak) pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dan kedua, sekarang UU Cipta Kerja.

4.Tidak Ada Jaminan Perlindungan Upah.
Pasal 88 UU Ciptaker melakukan perubahan berisi penghilangan perlindungan upah buruh, dan selanjutnya mengatur bahwa upah minimum ditentukan Gubernur berdasarkan rumus Umt+1 = Umt+ (Umt x %PEt) dengan dilanjutkan menghapus Pasal 89, Pasal 90 dan Pasal 91 UU Ketenagakerjaan.

Padahal pasal 89 ( 3 ) UU Ketenagakerjaan berbunyi: “Upah minimum (diarahkan pencapaian kebutuhan hidup layak) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan”.

Serta Pasal 90 (1) berbunyi: ‘Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Bila dilakukan ada pidananya 4 (empat) tahun sesuai pasal 185 UU Ketenagakerjaan”.

Pasal 91 (1) UU Ketenagakerjaan berbunyi: “Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau SP/SB tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Tidak ada lagi peran tripartit, seperti sekarang. Hanya gubernur berunding KADIN –APINDO. Dan tidak ada lagi sanksi bagi pengusaha yang membayar upah di bawah UMP. Padahal merundingkan upah adalah satu tugas/fungsi penting dari serikat buruh.

5. PHK dan Pesangon.
Perubahan Pasal 151 UU Ciptaker menghilangkan Pasal 151 (1) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi: ”Pengusaha, pekerja/buruh, SP/SB dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK.”

Kemudian putusan MK dalam Putusan MK No: 012/PUU-I/2003 dan 19/PUU-X/2011 melarang PHK kecuali karena melakukan pelanggaran berat dan perusahaan tutup. Kehadiran pasal 151 UU Ciptaker ini memudahkan PHK.

  • Bagikan