Tiada Lagi Abah: Sebuah Refleksi atas Perekonomian Hari ini

  • Bagikan

LENSAKINI – Di antara statistik yang kian membumbung, grafik pertumbuhan yang dielu-elukan, dan jargon efisiensi yang terus digemakan, ada satu suara yang pelan-pelan hilang yaitu suara Abah.

Abah bukan ekonom. Ia tidak pernah menulis makalah tentang supply dan demand, tidak mengisi seminar tentang inflasi, bahkan mungkin tak tahu apa itu resesi dalam istilah teknis.

Tapi ia memahami satu hal yang kini terasa langka dalam percakapan ekonomi hari ini bahwa hidup tidak selalu bisa dihitung, tapi selalu harus dimanusiakan.

Abah, dalam ingatan kolektif kita, bukan sekadar karakter dalam cerita Keluarga Cemara. Ia adalah representasi dari manusia biasa pekerja keras, gagal dengan hormat, tetap mencintai dengan utuh.

Ketika bisnisnya bangkrut, ia tidak menyalahkan siapa pun. Ketika rumahnya hilang, ia tidak menjual prinsip. Ia hanya berkata, “Kita belajar hidup lebih sederhana.”

Hari ini, dalam iklim ekonomi yang mengukur segalanya dengan angka, keberadaan tokoh seperti Abah nyaris punah. Ekonomi telah kehilangan sisi kemanusiaannya.

Kita menyusun laporan keuangan tanpa cerita, membuat kebijakan publik tanpa mempertimbangkan air mata, dan membicarakan pengangguran seolah itu sekadar statistik, bukan tragedi personal.

Kita hidup dalam sistem yang menghukum kegagalan tanpa ampun. Seorang pedagang kecil yang bangkrut karena pandemi, misalnya, akan dinilai sebagai ‘tidak adaptif.’

Seorang ayah yang kehilangan pekerjaan akan diberi label ‘tidak produktif.’ Tak ada pengampunan dalam grafik. Tak ada ruang bagi martabat dalam neraca rugi laba.

Matinya Abah adalah simbol dari matinya ekonomi yang pernah memberi ruang pada kegagalan yang terhormat.

  • Bagikan