LENSAKINI – Lonjakan angka kemiskinan kembali menjadi sorotan setelah Bank Dunia merilis pembaruan garis kemiskinan global.

Berdasarkan standar baru yang menggunakan skema Purchasing Power Parity (PPP) 2021, jumlah penduduk Indonesia yang tergolong miskin melonjak drastis, mencapai 68,25 persen dari total populasi.
Dalam laporan June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform (PIP), Bank Dunia menaikkan garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah atas dari sebelumnya US$6,85 menjadi US$8,30 per kapita per hari.

Perubahan ini tidak hanya berdampak secara statistik, tetapi juga memunculkan perdebatan seputar definisi dan pengukuran kemiskinan itu sendiri.

Dengan populasi Indonesia yang mencapai 285,1 juta jiwa pada 2024, penerapan garis baru ini menempatkan sekitar 194,58 juta penduduk ke dalam kategori miskin meningkat 22,78 juta hanya dalam dua bulan sejak publikasi terakhir Bank Dunia pada April 2025.
Beda Data dengan BPS
Badan Pusat Statistik (BPS) tak tinggal diam. Dalam pernyataan sebelumnya, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyebut bahwa versi nasional mencatat jumlah warga miskin jauh lebih rendah, yakni 8,57 persen atau setara 24,06 juta jiwa.
Menurut Amalia, perbedaan ini disebabkan oleh metode penghitungan yang digunakan. Garis kemiskinan nasional dihitung berdasarkan kebutuhan dasar makanan dan non-makanan, yang dikumpulkan melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).
Ia menekankan bahwa pengeluaran dalam rumah tangga tidak bisa disamakan secara rata per individu.
“Bank Dunia memang menyarankan tiap negara menghitung garis kemiskinan nasionalnya masing-masing, karena karakteristik sosial dan ekonominya berbeda-beda,” kata Amalia dalam rilis resmi BPS, Jumat (2/5).